Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Lahirnya Mabadiu Khaira Ummah – Dasar dan Butir-Butirnya

Daftar Isi [Tampilkan]

Sajarah Lahirnya Mabadiu Khaira Ummah

Munculnya gerakan Mabadiu khaira ummah didorong oleh adanya kesadaran di kalangan para pemimpin NU bahwa untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Nahdlatul Ulama maka harus ada dukungan dari umat yang memiliki sifat-sifat terpuji, mental yang tinggi, dan mampu mengemban tugas agama maupun organisasi.

Gagasan untuk membentuk karakter warga nadliyin melalui mabadiu khaira ummah itu muncul pada saat Kongres HBNO (Hoofd Bestuur NO, nama lain dari NU untuk saat itu) ke-13 yang juga mengamanatkan agar NU merintis pemberdayaan ekonomi umat. Untuk itu, perlu adanya pembinaan umat lebih dulu sebagai basis dari usaha pembentukan khaira ummah. 

Pada sisi yang lain gerakan memasyarakatkan mabadiu khaira ummah, dilakukan berbarengan dengan gerakan pemasyarakatan (sosialisasi) Nahdlatul Ulama ke luar pesantren, sehingga upaya pembinaan dan penggalangan tersebut tidak hanya mempunyai dampak ke dalam tetapi juga mempunyai dampak ke luar, yaitu suatu umat yang dapat dijadikan panutan (uswatun hasanah).

Upaya penanaman mabadiu khaira ummah dilakukan dengan memberikan penjelasan secara terus menerus. Melalui berbagai tempat dan kesempatan, kususnya pada malam pertemuan (lailatul ljtima), yang diadakan di tiap-tiap ranting melalui instruksi yang dilakukan oleh NU. 

Hal ini seperti tertuang dalam INSTRUCTIE KE-11 tentang Programme Membangoen Oemmat Islam dan Pendahoeloenja Langkah Membangoenkan Masjarakat Islam dan Economienja serta melalui usaha-usaha nyata seperti gerakan koperasi atau syirkah taawuniyah. 

Hasil yang dapat dipetik dari upaya tersebut sungguh membanggakan, meskipun secara kuantitas jumlah warga NU tidak sebanyak saat ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hal antara lain semangat berorganisasi semakin tumbuh dan berkembang, kegiatan organisasi dalam berbagai bidang makin semarak, kesetiaan warga makin kuat, dan para kyai pemimpin NU semakin solid. 

Jika ada selisih pendapat di antara mereka, maka semata-mata didasarkan atas perbedaan pendirian bukan perbedaan kepentingan. Semua ini membawa akibat yang sangat baik bagi pembinaan internal (ke dalam) maupun dalam upaya pengembangan Nahdlatul Ulama secara eksternal (ke luar).

Langkah pembinaan umat yang sangat baik ini, tersendat- sendat karena pecahnya Perang Dunia kedua, dan Nahdlatul Ulama menjadi partai politik. Gerakan ini belum ada tanda-tanda diaktifkan kembali. Harapan untuk menghidupkan kembali gerakan ini pernah terdengar disekitar tahun 1970-an bertepatan dengan terdengarnya suara ajakan untuk kembali ke khittah, namun suara ini kembali tak terdengar karena hiruk pikuknya aktivitas politik praktis. 

Baru setelah Nahdlatul Ulama bertekad bulat kembali ke Khithah 1926 pada tahun 1985, keinginan untuk meneruskan kembali gerakan mabadiu khaira ummah semakin kuat, terutama setelah Muktamar NU ke-28 yang mengamanatkan kepada pengurus besar Nahdlatul Ulama agar menangani masalah sosial dan ekonomi secara lebih bersungguh-sungguh.

Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung tahun 1992, gerakan Mabadiu Khaira Ummah kembali dimunculkan ke permukaan dan bahkan lebih dikembangkan lagi. Mabadiu Khaira Ummah semula hanya terdiri atas tiga asas, yaitu Asshidqu, alamanah/alwafa bil ahdi, dan attaawun sebagaimana yang dirumuskan oleh K.H. Mahfudz Shiddiq selaku Ketua NU pada tahun 1935. 

Kemudian dalam Munas di Lampung tahun 1992, tiga asas tersebut ditambah dua poin lagi yakni al adalah dan al istiqamah, sehingga menjadi lima butir dan disebut juga sebagai mabadiu khamsah.

Dasar pemikiran adanya penambahan tersebut adalah perbedaan tantangan situasional yang berbeda antara tahun 1935 dan tahun- tahun mendatang. Selain itu juga adanya perbedaan sasaran yang dicapai. Sasaran pada waktu itu hanya pembentukan jati diri dan watak warga, sedangkan sekarang ini diharapkan sebagai modal dasar bagi pembentukan tata kehidupan baru yang lebih baik.

Dari latar belakang di atas, maka para ulama memandang perlu pembentukan terhadap watak, sikap, dan perilaku umat dengan ciri kusus yang menjadikan warga nadliyyin mudah dikenali.

Pembentukan watak, sikap, dan perilaku yang khusus ini sangat penting untuk membedakan mana warga nadliyin dan mana yang tidak. Pada sisi lain, mengingat kondisi Indonesia saat itu belum merdeka dan setiap warga negara diharapkan perjuangan dan partisipasinya untuk ikut membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan, maka pembentukan watak yang spesifik Islam ahlussunnah waljamaah semakin dipandang perlu. 

Untuk itu, para ulama dan tokoh-tokoh panutan NU, berusaha untuk merumuskan watak-watak dasar tersebut. Perumusan ini diharapkan dapat dilaksanakan oleh warga nadliyin dalam kehidupan sehari-hari, sehingga prilaku ini menjadi ciri khas warga nadliyin. Perumusan konsep tentang watak dasar ini kemudian dibahas oleh ulama NU, sehingga menghasilkan konsep yang diberi nama mabadiu khaira ummah.

Dasar-Dasar Mabadiu Khaira Ummah

Mabadiu khaira ummah arti harfiahnya adalah dasar, asas atau prinsip-prinsip umat yang terbaik. Istilah Mabadiu khaira ummah digunakan oleh NU untuk menggambarkan ciri ideal warga NU di mana pun berada dan dengan ciri-ciri itulah warga NU diharapkan akan dikenal. 

Mabadiu khaira Ummah juga mengandung makna adanya usaha sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk mewujudkan citra ideal warga NU. Dengan kata lain mabadiu khaira ummah adalah gerakan pembentukan identitas dan karakter warga Nahdlatul Ulama, melalui penanaman nilai-nilai yang dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar (mabadi).

Gerakan tersebut juga merupakan langkah awal bagi pembentukan umat terbaik (khaira ummah), suatu umat yang mampu melaksanakan tugas amar makruf nahi munkar. Identitas dan karakter yang dimaksudkan dalam gerakan ini adalah bagian terpenting dari sikap kemasyarakatan yang termuat dalam Khittah Nahdlatul Ulama, yang harus dimiliki oleh setiap warga Nahdlatul Ulama dan dijadikan landasan berfikir, bersikap, dan bertindak.

Banyak sekali dasar yang digunakan untuk membentuk mabadiu khaira ummah. Pertama, Alquran sebagai dasar utama, kedua, Sunnah Rasulullah sebagai dasar kedua, dan contoh perilaku mulia (uswatun hasanah) dari ulama salafus shalihin sebagai dasar ketiga. 

1) Alquran

Dasar Alquran adalah firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 110:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ ١١٠

110.  Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. (Q.S. Ali Imran:110)

2) Sunnah Rasul

Sedangkan dasar Sunnah adalah missi utama Rasulullah yang berupaya memperbaiki akhlak manusia sebagaimana sabda Rasulullah saw. 

Artinya: “Dan tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurkan keutamaan akhlaq yang mulia.” (Alhadis)

3) Uswah Hasanah para Ulama Salaf

Sedang dasar meniru dan mencontoh perilaku mulia (uswatun hasanah) para ulama salaf (salafus shalikhin) adalah dapat dilakukan dengan cara meniru akhlak mulianya baik melalui buku cerita, sejarah ulama, manaqib, atau meniru secara langsung dari kepribadian-kepribadian para ulama salaf tersebut dengan melalui silaturrahim atau muhibah

Butir-Butir Mabadiu Khaira Ummah

Adapun isi dan kandungan mabadiu khaira ummah atau mabadiu khamsah serta uraiannya adalah sebagai berikut:

1. Asshidqu

Asshidqu bermakna jujur/benar, bersungguh-sungguh, dan terbuka. Kejujuran/ kebenaran adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Apa yang dilahirkan sama dengan apa yang ada di dalam hati. Jujur itu meliputi ucapan, perbuatan, dan sikap yang ada di dalamnya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Attaubah ayat 119: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ ١١٩

119.  Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar! (Q.S. At Taubah:119)

Bersungguh-sungguh dilakukan dalam berbagai tugas, baik yang berhubungan dengan Allah swt (hablum minallah) maupun tugas- tugas kemasyarakatan (hablum minannas). Allah berfirman dalam surat Albaqarah 177:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ ١٧٧

177.  …..  Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Sedangkan terbuka merupakan sikap lahir dari kejujuran untuk menghilangkan kecurigaan antara satu dengan yang lain, kecuali dalam beberapa hal yang selayaknya harus dirahasiakan.

2. Al amanah walwafa bilahdi

Alamanah walwafa bilahdi berasal dari dua kata alamanah yang memiliki pengertian yang lebih umum yakni meliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik ada perjanjian maupun tidak, sedangkan alwafa bilahdi hanya berkaitan dengan sesuatu yang terdapat perjanjian. Namun kedua istilah itu digabungkan menjadi satu kesatuan. Yang Pengertiannya meliputi dapat dipercaya, setia, dan tepat janji.

Dapat dipercaya adalah sifat yang diletakkan pada seseorang yang dapat melaksanakan tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Setia mengandung pengertian kepatuhan dan ketaatan terhadap Allah dan pimpinan/penguasa sepanjang tidak memerintah untuk berbuat maksiat.

Sedangkan tepat janji mengandung arti melaksanakan semua perjanjian baik perjanjian yang dibuat sendiri maupun perjanjian yang melekat karena kedudukannya sebagai orang mukalaf dan meliputi janji pemimpin terhadap yang dipimpinnya, janji sesama anggota keluarga dan setiap individu. Allah swt. Berfirman dalam surat an- Nisa ayat 58:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ  

Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”

Begitu juga firman Allah surat Al Maidah ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian perjanjian itu’.

3. Al adalah

Al’adalah mengandung pengertian bersikap adil dan memberikan hak dan kewajiban secara proporsional. Bersikap adil dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya, berpihak kepada kebenaran, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar. Bersikap adil dituntut dari semua pihak lebih-lebih dari penguasa, hakim, pemimpin, kepala keluarga, orang lain dalam berfatwa, dan sebagainya.

Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban. Hak adalah sesuatu yang mesti diperolehnya, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakannya. Pemberian hak dan pelaksanaan kewajiban bagi setiap orang disesuaikan dengan kepatutan masing-masing. Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 90:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ 

90.  Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, 

4. Attaawun

Attaawun merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Pengertian attaawun meliputi, tolong menolong, setia kawan, dan gotong royong dalam kebaikan dan ketakwaan.

Taawun juga mengandung pengertian timbal balik dari masing-masing pihak untuk memberi dan menerima. Oleh karena itu sifat taawun mendorong setiap orang untuk berusaha dan bersikap kreatif agar dapat memiliki sesuatu yang dapat dikembangkan kepada orang lain. Firman Allah dalam surat Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ

2.  Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan

5. Al Istiqomah

Al istiqomah mengandung pengertian konsisten, ajeg, berkesinambungan, dan tidak berkelanjutan. Keajegan adalah tetap dan tidak bergeser jalur sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah an Rasul-Nya. Kesinambungan artinya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antara periode satu dengan periode yang lain. Sehingga semuanya merupakan satu mata rantai yang tak terpisahkan dan saling menopang.

Sedangkan berkelanjutan adalah proses pelaksanaan secara terus menerus dan tidak mengalami kemandegan (statis). Allah berfirman dalam surat Fusshilat ayat 30:

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ٣٠

30.  Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”