Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perilaku Warga Nahdlatul Ulama dalam Kehidupan Sehari-hari

Daftar Isi [Tampilkan]

Qaidah Fiqhiyah Sebagai Dasar Pembentukan Perilaku Nahdliyyin

Sebelum Nahdlatul Ulama lahir, telah terjadi akulturasi antara budaya lokal dan nilai Islam d tengah tengah umat Islam Indonesia. Dari akulturasi itu terwujudlah tradisi baru yang mengakar di masyarakat. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola pikir (ittifaq al-ara’ wal-mazhab) dan referensi tradisi sosial keagamaan (ittihad al-ma’khad wal-masyrab).

Dasar pembentukan perilaku etika moral kaum Nahdliyyin yang bercirikan sikap tawasuth, tawazun, tasamuh, dan iktidal merupakan implementasi dari kekukuhan mereka dalam memegang prinsip prinsip keagamaan (qaidah al fiqhiyyah) yang dirumuskan oleh para ulama klasik.

Di antara prinsip prinsip keagamaan tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakkamah ( اَلْعَادَةُ الْمُحَكَّمَةُ ) artinya : sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan. Maksudnya, rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan masyarakat tersebut.

Hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiktif dengan prinsip prinsip ajaran yang bersifat absolut (qath’i), dalil dalil yang merupakan qaidah umum dan prinsip prinsip univesal.

الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ مَالَمْ تُخَالِفِ الشَّرُعَ

Artinya : Adat kebiasaan atau budaya itu bisa dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan norma agama.

Al-‘Adah al-Muhakkamah menjadikan performa Islam sangat baik menjadi sehingga agama menjadi dinamis dan membumi, yang selalu aktual di tengah-tengah masyarakat. Islam pun menjadi agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan umat tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Umat Islam Indonesia juga mengenai prinsip dasar keagamaan dengan menggunakan kaidah :

الْمُحَا فَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ

Artinya : Upaya pelestarian nilai-nilai yang baik di masa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik.

Kaidah ini merupakan instrument bagi proses rekonsiliasi agama dan budaya. Sudah dimaklumi bahwa agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda serta mempunyai independensi tersendiri.

Agama berasal dari wahyu Allah karena itu bersifat suci dan permanen, sedangkan budaya adalah produk manusia yang selalu berubah dan dinamis. Kaidah ini mampu memperkaya khazanah keagamaan sebagai implikasi dari dialog budaya dan prinsip-prinsip keagamaan.

Kaidah ini juga mampu membawa masyarakat untuk melakukan penyerapan, antisipasi setiap perilaku hokum yang hidup di tengah masyarakat serta setiap pergeseran kemaslahatan umat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan demikian Islam tidak menjelma sebagai agama yang statis. Tetapi sebaliknya Islam menjadi agama yang dinamis, kreatif, inovatif demi kebaikan dan kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya, kaum Nahdliyyin mengenal kaidah :

اَلْحُكْمُ يَدُوْرُمَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

Artinya : Sebuah keputusan itu terikat dengan sebabnya.

Maksudnya, sebuah kebijakan yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh reasoningnya. Oleh karena itu, sebuah keputusan tidak dapat berdiri sendiri. Ia sangat bergantung pada alasan keputusan tersebut.

Maka di kalangan Nahdliyyin sebuah kebijakan sangat kontekstual, membudaya. Ada dan tidaknya sebuah keputusan atau hokum sangat mempertimbangkan ruang dan waktu.

Kaidah lainnya adalah

مَالَايَتِمٌ الْوَاجِبُ اِلَّابِهِ فَهُوَوَاجِبٌ

Artinya : Jika sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain, maka unsur yang lain itu juga menjadi keharusan.

Maksudnya, sebuah idealisasi harus diupayakan dengan memperhatikan factor-faktor lain yang mempunyai kaitan dengannya. Optimalisasi atas sesuatu secara otomatis juga optimalisasi atas factor yang mendukungnya.

Prinsip selanjutnya,

اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُعِىَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَبِ اَخَفِّهِمَا

Artinya : Jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar dengan cara melaksanakan yang paling kecil resikonya.

Kaidah ini merupakan solusi untuk menghindari resiko buruk dengan cara menghindari langkah langkah ideal berisiko tinggi. Setiap langkah kebijakan di tengah masyarakat selalu mengandung resiko. Karena itu, resiko buruk harus menjadi pertimbangan dengan cara memilih kebijakan yang mempunyai dampak buruk paling ringan.

Kaum Nahdliyyin juga mengenal kaidah.

دَرْءُ الْمَفَاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Artinya : Mencegah marabahaya lebih diutamakan daripada meraih kebaikan.

Maksudnya, masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada mengupayakan kebaikan yang berisiko tinggi. Prinsip ini mendorong masyarakat untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktivitasnya benar-benar berdampak positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Kaidah yang tidak kalah pentingnya adalah

تَصَرُّفُ الْاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Artinya : Kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya.

Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi dirinya sendiri. Karena itu segala kebijakan yang diambil harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

Perilaku Keagamaan NU

Islam Ahlussunnah Waljamaah merupakan prinsip utama NU, sedangkan formulasi Khitthah NU mabadi khaira ummah, dan beberapa kaidah fiqhiyyah di atas merupakan tafsir atas prinsip utama yang diharapkan mampu mewujudkan kepribadian dan perilaku-perilaku warga Nahdliyyin yang berkarakter.

Perilaku keagamaan warga NU yang menggunakan sistem bermazhab memberikan spesifikasi di bidang akidah, syariat dan tasawuf. 

Di bidang akidah, ciri perilaku yang dikembangkan oleh warga NU adalah :

  1. Mengembangkan keseimbangan antara logika dan teks ilahiyah atau keseimbangan penggunaan antara dalil akli (argumentasi rasional) dengan dalil nakli (nas Alquran dan al Hadis), dengan pengertian bahwa dalil akli dipergunakan dan ditempatkan di bawah dalil nakli,
  2. Berusaha menjaga kemurnian akidah Islam dari pengaruh eksternal,
  3. Memahami konsep jalan tengah takdir, yaitu percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas ketentuan Allah sedangkan manusia mempunyai kewajiban untuk berusaha.

Di bidang akidah ini, NU mengikuti Ahlussunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al- Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Di bidang syariat, ciri perilaku warga NU adalah :

  1. Berpegang teguh kepada Alquran dan Hadis dengan menggunakan metode pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya saja untuk memahami dua sumber utama Islam tersebut kita harus menyandarkan diri kepada hasil ijtihad dan bimbingan para ulama,
  2. Menoleransi perbedaan pendapat tentang furuiyah dan muamalah ijtimaiah selama tidak bertentangan dengan prinsip agama,
  3. Pada masalah yang sudah ada dalil nas yang sharih dan qath’i (tegas dan pasti) tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.

Dalam bidang fikih ini, NU mengikuti jalan pendekatan (Al mazhab) kepada salah satu dari mazhab empat, yaitu Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Di bidang tasawuf atau akhlak, perilaku yang dilakukan warga Nahdliyyin adalah sebagai berikut. 

  1. Memercayai bahwa antara syariat, akidah, dan tasawuf mempunyai kaitan. Bahkan syariat harus didahulukan daripada tasawuf. Tasawuf tidaklah identik dengan kejumudan. Sebaliknya tasawuf mampu memberikan motivasi untuk selalu dinamis dalam mencari kebahagiaan, baik secara fisik maupun metafisik. Inti ajaran tasawuf adalah penyucian hati dan pembentukan sikap mental seideal mungkin dalam menghambakan diri kepada Allah. Karena itu warga NU mengakui tarekat muktabar di bawah bimbingan ulama (mursyid) sebagai salah satu cara bertasawuf.
  2. Menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, dengan riyadhah dan mujahadah menurut kaifiyah (cara) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan ajaran Islam.
  3. Mencegah ekstremisme yang dapat menjerumuskan orang kepada penyelewengan akidah dan syariat.
  4. Berpedoman pada akhlak yang luhur dan selalu berada di antara dua ujung sikap yang tepat atau tatharruf. Umpamanya : Sikap asy-syaja’ah atau berani yang merupakan langkah tengah antara penakut (al-jubn) dan sembrono (at-tahawwur). Demikian pula sikap tawaduk yang merupakan sikap menempatkan diri secara tepat di antara at-takabbur (sombong) dan at-tadzallul (rendah diri). Selain itu juga sikap al-jud atau al-karomu (dermawan) sebagai jalan tengah di antara sikap al-bakhil (kikir) dan al-israf (boros).

Dalam bidang tasawuf/akhlak ini, NU mengikuti Imam Abul Qosim al Junaidi al Baghdadi dan Imam al Ghozali serta imam-imam lain yang sepaham.

Perilaku Kemasyarakatan NU

Ahlussunnah Waljamaah adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan diamalkan oleh beliau bersama para sahabatnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa karakter Ahlussunnah Waljamaah sama sekali tidak bergeser dari karakter agama Islam.

Nahdlatul Ulama sesuai dengan khithahnya adalah organisasi keagamaan yang dibentuk dalam upaya menegakkan kehidupan keagamaan yang berlandaskan paham Ahlussunnah Waljamaah, dengan menyatakan diri sebagai pembela dan pengemban ajaran Ahlussunnah Waljamaah.

Dasar pendirian Nahdlatul Ulama tersebut menumbuhkan sikap-sikap kemasyarakatan yang merupakan ciri perilaku kemasyarakatan Nahdlatul Ulama, yaitu :

1. At Tawassuth

At Tawassuth, artinya mengambil jalan tengah atau pertengahan. NU tidak bersikap ekstrem baik kanan (berkedok agama), maupun kiri (komunis) karena kebajikan memang selamanya terletak antara dua ujung (kanan dan kiri).

Kata At Tawassuth diambil dari firman Allah Swt dari kata “wasathan” berikut ini :

وَكَذَٲلِكَ جَعَلۡنَـٰكُمۡ أُمَّةً۬ وَسَطً۬ا لِّتَڪُونُواْ شُہَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدً۬ا‌ۗ
Artinya : Dan demikian [pula] Kami telah menjadikan kamu [umat Islam], umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan] manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas [perbuatan] kamu ... (QS. Al Baqarah 143)

Ukuran penilaian dalam ayat di atas dimaksudkan bahwa Rasulullah sebagai pengukur umat Islam, sedang umat Islam menjadi pengukur manusia umumnya.

Sikat at Tawassuth ini membuktikan bahwa watak NU itu moderat baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama. Dalam kehidupan sosial politik, NU tidak pernah melakukan kegiatan atau gerakan ekstrem (tatharruf) yang melawan negara, bahkan NU selalu ada di garis depan ketika mempertahankan tanah air Indonesia dan menjadi pelopor pembangunan.

2. Al Iktidal, 

Yang berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan ke kiri. Kata ini diambil dari al-adlu yang berarti keadilan atau i’dilu, bersikap adillah seperti pada ayat berikut ini :

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٲمِينَ لِلَّهِ شُہَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّڪُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْ‌ۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰ‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ (٨)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah 8)

Ayat di atas, menggambarkan bahwa NU berpijak pada prinsip tegak lurus. Artinya Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bertindak lurus, bersifat membangun dan menghindari segala bentuk yang bersifat tatharruf (ekstrem)

3. At Tasamuh

At Tasamuh yang berarti toleran. Maksudnya bahwa NU toleran terhadap perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furuiyah atau masalah khilafiah, serta dalam masalah budaya dan kemasyarakatan. 

Prinsip tasamuh ini juga dilaksanakan oleh para Walisongo dalam melakukan dakwahnya di Indonesia pada zaman dahulu. Walisongo bersikap toleran terhadap praktik-praktik keagamaan serta tradisi lokal yang dijalankan oleh masyarakat Hindu, sehingga ajarannya mudah diterima oleh masyarakat tanpa kekerasan.

Walisongo dalam menjalankan misi dakwahnya tidak hanya mengajak masyarakat untuk maşuk Islam, tetapi juga berupaya mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi, dan juga berakar pada tradisi masyarakat setempat. 

Sikap toleran terhadap budaya dan tradisi masyarakat tersebut menjadikan NU mudah beradaptasi dengan kondisi dan budaya manapun serta dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya.

4. At Tawazun

At Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain. Kata ini juga diambil dari al-Waznu atau al-Mizan yang berarti penimbang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt berikut ini :

لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ
Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca [keadilan] supaya manusia dapat melaksanakan keadilan ... (QS. Al Hadid 25)

NU memegang teguh prinsip tawazun yang berarti dalam setiap gerakan maupun langkahnya selalu bersikap seimbang. Maksudnya warga NU menyeimbangkan antara hubungan dengan Allah Swt serta hubungan dengan sesama manusia dan lingkungannya.

NU juga memiliki sebuah prinsip, yakni :

اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْاَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْاَصْلَحِ

Mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik yang dapat juga diartikan menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang (masa depan).

5. Amar makruf nahi munkar

Amar makruf nahi munkar yang berarti selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. 

Waljamaah merupakan dua sendi yang mutlak diperlukan untuk menopang tata kehidupan yang diridai Allah Swt. Hanya dengan melaksanakan dua gerakan ini, kehidupan lahiriah dan bathiniah kita mencapai kebahagiaan. 

Nahdlatul Ulama menandaskan bahwa gerakan Waljamaah harus dilakukan dengan sikap tawassuth wal Iktidal, tasamuh, dan tawazun serta mengikuti tata cara yang baik, tidak boleh hanya sekadar mengikuti selera sendiri.

Dengan menganut paham keagamaan dan menerapkan sikap kemasyarakatan di atas, diharapkan warga Nahdlatul Ulama selalu berperilaku dengan akhlakul karimah, misalnya sebagai berikut :

  1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam. Artinya selalu menghormati, mempertahankan, membela dan mentaati nilai-nilai ajaran Islam.
  2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Artinya kepentingan pribadi yang dapat merugikan kepentingan bersama tidak boleh didahulukan. Kepentingan yang lebih besar harus didahulukan, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan yang lebih kecil.
  3. Menjunjung tinggi nilai sifat keikhlasan dalam berkhidmah dan berjuang. Artinya berlaku ikhlas karena Allah Swt dalam melakukan segala perbuatan, tanpa membuang keyakinan dan harapan bahwa segala perbuatan baik pasti akan mendapat balasan baik dari Allah 
  4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al ukhuwah), persatuan (al ittihad) sena kasih mengasihi. Artinya selalu berusaha mewujudkan ukhuwah, ittihad dan tarahum (saling mengasihi) antara sesama Nahdliyyin, antara sesama muslimin, antara sesama bangsa dan sesama umat Islam.
  5. Meluhurkan kemuliaan moral (akhlakul karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (as shidqu) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Sikap ini menghendaki agar, selalu berusaha menerapkan akhlakul karimah kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Langkah awalnya ialah kejujuran dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Jujur kepada Allah dan jujur kepada masyarakat.
  6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara. Artinya selalu siap menghormati, membela kepentingan dan taat kepada agama, bangsa dan negara secara tawazun (proporsional, komprehensif), tidak mempertentangkan antara ketiganya. Membela kepentingan bangsa dan negara adalah juga bagian dari ajaran agama.
  7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt. Artinya berpendirian bahwa amal, kerja dan prestasi (kemampuan melakukan tugas dengan berhasil baik) merupakan ibadah (pengabdian) kepada Allah, di samping ibadah mahdlah (ibadah murni, terbatas) seperti salat, puasa, haji dan sebagainya.
  8. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya. Dengan perilaku ini dimaksudkan agar warga NU selalu berusaha menambah ilmu, baik ilmu tentang ayat-ayat yang berwujud ajaran agama maupun ayat-ayat Allah Yang berwujud alam semesta. Selalu menghormati para ahlil ilmi sebagai pembawa khazanah ilmu yang mutlak diperlukan oleh umat manusia dalam menempuh kehidupan duniawi dan ukhrawi.
  9. Selalu siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia. Maksudnya selalu menyadari bahwa alam semesta ini terus menerus mengalami perubahan, tidak pernah berhenti. Kita harus selalu siap menghadapi perubahan perubahan tersebut dan berusaha mengarahkannya. Setiap perubahan membawa dampak sendiri. Adakalanya positif dan adakalanya negatif dan yang paling banyak adalah yang berdampak ganda (membawa dampak positif, sekaligus dampak negatif). Perubahan yang berdampak positif diterima, dimanfaatkan dan kita berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan itu, sedangkan perubahan yang berdampak negatif kita tolak, diminimalisasi dan diusahakan agar menjadi positif.
  10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakat. Artinya kita selalu berusaha memelopori, mendorong, mempercepat perkembangan masyarakat ke arah yang positif, bermanfaat dan benar menurut agama dan akal sehat. Selalu mencari yang baru dan lebih baik serta tetap memelihara yang lama.
  11. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Maksudnya, warga Nahdliyyin diharapkan selalu berusaha memelihara kebersamaan (kerukunan, kerjasama, saling membantu) dalam menempuh kehidupan di antara bangsa dan kehidupan bernegara. Hal itu dilakukan untuk memelihara keutuhan bangsa, negara, dan mewujudkan kesejahteraan bersama.

Perilaku warga Nahdliyyin sebagaimana tersebut di atas, akan lebih sempurna, apabila digabungkan dengan induk induk akhlak yang telah digariskan oleh Imam Al Ghozali, yaitu:

  1. Al-hikam (kebijaksanaan)
  2. As-syaja’ah (keberanian)
  3. Al-‘adalah (keadilan)
  4. Al-iffah (penjagaan harga diri)

Lebih sempurna lagi, kalau para pengurus dan warga NU meniru sifat-sifat para rasul, yakni :

  1. As shidqu (kebenaran, kejujuran)
  2. Al amanah (dapat dipercaya)
  3. Al fathanah (kecerdasan)
  4. At tabligh ( penyampaian ajaran secara tuntas, terbuka).

Untuk mewujudkan cita cita yang diinginkan warga melakukan, Nahdlatul Ulama, ihtiar-ihtiar sebagai berikut :

  1. Meningkatkan silaturahim antar para ulama
  2. Meningkatkan kegiatan keilmuan dan pendidikan
  3. Meningkatkan penyiaran Islam (dakwah), pembangunan sarana peribadatan (ubudiyah) dan pelayanan social (mabarrot)
  4. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat (muamalat, iqtishadiyah, ekonomi)