Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Khitthah Nahdliyah : Pengertian, Latar Belakang, Tujuan, Butir, dan Dinamikanya

Daftar Isi [Tampilkan]

Pengertian dan Subtansi Khitthah Nahdliyah

Secara harfiyah, khitthah artinya garis. Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata “khitthah” berarti garis-garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian Nahdlatul Ulama baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara perorangan maupun secara organisasi. 

Fungsi garis-garis itu dirumuskan sebagai “landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Ini berarti bahwa pikiran, sikap, dan tindakan warga NU, baik secara perorangan maupun secara organisastoris (kolektif) harus berdasarkan atas Khitthah Nahdliyah. Demikian pula setiap kali pengambilan keputusan melalui proses, prosedur maupun hasil-hasil keputusan yang diambil harus sesuai dan tidak bertentangan dengan Khitthah Nahdliyah.

Pada naskah khitthah disebutkan bahwa, substansi dan landasan organisasi ini adalah paham Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.

Ungkapan “yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia” sama sekali bukan dimaksudkan untuk merubah Islam Ahlussunnah Waljamaah dan disesuaikan dengan kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ungkapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

  1. Islam adalah agama universal yang ajaran-ajarannya dapat dan harus diperjuangkan penerapannya di seluruh dunia.
  2. Di antara ajaran Islam terdapat poin-poin ajaran yang prinsipnya seragam, tetapi wujud penerapannya berbeda-beda lantaran perbedaan tempat, situasi, dan kondisi. 

Dengan demikian Khitthah Nahdliyyah bukan semata memberikan landasan dasar-dasar paham Ahlussunnah Waljamaah, tetapi melainkan meletakkan prinsip-prinsip dasar kemasyarakatan yang aplikatif dengan situasi, kondisi, maupun strata masyarakat Indonesia.

Rumusan Khitthah Nahdliyah tersebut sebenarnya merupakan intisari perjalanan sejarah khidmat NU serta pandangan, wawasan keagamaan maupun kemasyarakatan dan tingkah laku NU sejak organisasi didirikan. 

Artinya Khitthah Nahdliyyah selain berwujud Islam Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, juga dilengkapi dan diperkaya dengan intisari pelajaran dari pengalaman perjuangan NU sepanjang sejarahnya. Dengan demikian, Khitthah Nahdliyyah menjadi bersifat jelas, kenyal, luwes, dan dinamis.

Latar Belakang Khitthah Nahdliyah

Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membawa dampak yang kurang baik bagi Jamiah Nahdlatul Ulama. 

Realitas semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU Yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan jamiah dan pada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti : dakwah pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi permasalahan.

Usulan kembali kepada khitthah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH. Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah hilang.

Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada khitthah tahun 1926. Namun, usulan itu hanya didukung oleh 1 (satu) cabang, sehingga penilaian kembali ke khitthah berhenti.

Pemikiran serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke 25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH. Wahab Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih baik.

Oleh karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangannya tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan kalah oleh arus besar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik praktis.

Kandasnya gagasan kembali ke khitthah sampai kurun waktu tertentu jika diperhatikan, disebabkan dua hal, yaitu sebagai berikut.

  1. Gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politis NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak popular, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik’ wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa Pada saat itu peran kelompok politisi masih dominan dalam tubuh NU.
  2. Konsep kembali ke khitthah tidak terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini. Akhirnya Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang nonpolitis yang menampung dari membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Waljamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor Iain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai politik.

Perumusan secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khitthah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran yang dulunya semata-mata politis kini dilengkapi dengan alasan moral. 

Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang Ulama berpengaruh di Jawa Timur KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan bathiniah yang parah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu hub al-riyasah dan hub al-jaah (cinta kekuasaan dan cinta kedudukan).

Ulama senior NU Iain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khitthah Nahdliyyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU. 

Di samping itu, Ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itulah sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khitthah Nahdliyah tidak secepatnya disusun rumusannya. 

Jika pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidziyah dalam kepemimpinan NU yang secara tak langsung mengurangi peran ulama.

Sementara itu sebuah generasi baru NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan bukan pula politisi yang tergolong kubu Cipete. 

Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “jalan tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima kalangan NU.

Melalui segala pergulatan pemikiran ini kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926. 

Karena iłu sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke khitthah 1926 sebagimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih kokoh. 

Hal ini secara bertahap dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU iłu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwany dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan Perubahan dalam tubuh NU. 

Sampai pada tahun 1976 mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus, ulama, dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979 ide-ide iłu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah NU.

Hasilnya, ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke khitthah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam Program Dasar pengembangan Lima Tahun sebagai hasil Muktamar diuraikan tujuan sebagai berikut.

  1. Menghayati makna seruan kembali ke jiwa 1926 
  2. Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan khitthah tersebut
  3. Memantapkan cakupan partisipasi Nahdlatul Ułama secara lebih nyata dalam pembangunan bangsa.

Pada bulan Mei 1983 kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian terkenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah NU 1926”. 

Tim ini terdiri atas KH. Abdurrahman Wahid (Ketua), H.M. Zamroni (Wakil Ketua), Said Budairy (Sekretaris), H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja (semua anggota). 

Tim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai khitthah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ułama 1983 dan Muktamar Nu ke-27 di Situbondo tahun 1984. 

Dari kedua forum inilah dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan khittah 1926.

Tujuan Khitthah Nahdliyah

Tujuan yang pertama dan utama dari Khitthah NU dirumuskan secara tertulis dan sistematis adalah untuk menjadi pedoman dasar bagi warga NU, terutama pengurus, pemimpin dan kader-kadernya. 

Dalam naskah Khitthah NU (hasil Muktamar ke 27) disebutkan “...landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU, yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.”

NU, diharapkan tetap relevan dalam jangka waktu sepanjang mungkin. Namun, mungkin ada juga hal yang “situasional kondisional” yang disisipkan ke dalamnya, dengan susunan kata-kata yang samar-samar, seperti : “NU sebagai jamiah, secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan yang manapun juga” (butir 8 alinea 6 naskah Khitthah NU). 

Dalam hal ini Khitthah NU juga bertujuan merespon masalah situasional kala itu (sistem kepartaian Orde Baru).

Meskipun mungkin ada tujuan merespon masalah situasional, namun tujuan utama Khitthah NU adalah memberikan garis-garis pedoman kepada warga NU, terutama para pengurus, pemimpin dan kadernya dalam menjalankan roda organisasi.

Butir-butir Khitthah Nahdliyah

A. Dasar-dasar Paham Keagamaan NU

Pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984, yang menghasilkan kesepakatan kembali ke khitthah 1926 juga ditegaskan tentang posisi Ahlussunnah Waljamaah dalam organisasi NU yang dijabarkan secara lebih rinci, yaitu sebagai berikut.

  1. Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam yaitu Alquran, As Sunnah, Al Ijmak dan Al Qiyas.
  2. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab).
    1. Di bidang akidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan AI Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi.
    2. Di bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan Pendekatan (mazhab) salah satu dari mazhab Abu Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin Anas, imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
    3. Di bidang tasawwuf, mengikuti antara Iain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali serta Imam-Imam Iain.
  3. NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada serta menjadi ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.

B. Sikap Kemasyarakatan NU

Dasar-dasar pendirian paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada :

  1. Sikap tawassuth dan Iktidal .
    1. Sikap tengah berintikan keadilan di tengah kehidupan bersama.
    2. Menjadi kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak ekstrem.
  2. Sikap tasamuh
    1. Toleran dalam perbedaan pendapat keagamaan
    2. Toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
  3. Sikap tawazun
    1. Keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah Swt., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup
    2. Keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan.
  4. Sikap Amar Makruf nahi munkar 
    1. Kepekaan untuk mendorong perbuatan baik
    2. Mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai kehidupan.

C. Sikap NU dalam bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

  1. Dengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri dalam perjuangan nasional.
  2. Menjadi warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
  3. Memegang teguh ukhuwah dan tasamuh.
  4. Menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban, tidak terikat secara organisatoris, dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.
  5. Warga tetap memiliki hak-hak politik.
  6. Menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mengembangkan mekanisme musyawarah.

Strategi NU dalam mensosialisasikan Khitthah Nahdliyah

Harus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU di kalangan warga Nu belum dilakukan secara serius, terencana, terarah dan terkoordinasi dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” khitthah. Sehingga memberikan penafsirannya sendiri, tanpa “membaca naskahnya”.

Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU“ di bidang wawasan Ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga (Lakpesdam, RMI, dan lain sebagainya) dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang, sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. 

Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah yang telah ada masih jauh dari kenyataan. Bukan saja karena realisasi dan aktualisasi Khitthah NU itu sendiri sudah merupakan perjuangan berat, di sisi lain usaha sosialisasinya masih banyak tersendat-sendat.

Proses perumusannya demikian panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua (Munas Alim Ulama tahun 1983), sampai kepada yang muda (Majelis 24 dan Tim Tujuh), Sampai kepada yang formal struktural (Muktamar 1984) dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah baik subtansinya maupun sistematikanya.

Namun sebagai karya manusia, selalu masih ada kekurangsempurnaan kalau akan disempurnakan, maka hasil penyempurnaan itu harus benar-benar lebih sempurna.

Yang jelas, upaya sosialisasi belum serius, terencana terarah, terkoordinasi dan merata. Bahkan di kalangan pengurus di semua tingkatan pun belum merata. Akibat paling fatal adalah Khitthah Nu sering menjadi “pemicu pertentangan” di kalangan warga NU sendirí, tidak menjadi pedoman pemersatu sebagaimana dimaksudkan semula.

Dinamika Khitthah Nahdliyyah

1. Khitthah NU 1926 (Muktamar Situbondo 1984)

Gagasan untuk kembali ke khitthah 1926 itu telah muncul sejak tahun 1971, dimana pada saat itu pemerintah Orde Baru berupaya untuk menelikung kekuatan politik Islam. Upaya ini semakin mengental pada Muktamar 1979 di Semarang, di mana muncul dua isu utama yang mendominasi, yaitu : kembali ke khitthah NU dan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Isu ini terus menggelinding sangat kuat sampai kemudian disepakati dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983.

Munas Situbondo yang digelar pada tahun 1983 mempertegas hubungan NU dan partai politik. NU telah berseteguh hati untuk keluar dari partai politik (PPP) dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.

“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Namun Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. 

Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai ajaran Islam sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat, Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab.

Muktamar NU Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8 – 12 Desember 1984 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu 

  1. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU,
  2. Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supermasi Syuriyah atas Tanfidziyah dalam status hukum, 
  3. Penarikan diri dari politik praktis dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik,
  4. Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang nonpolitik.

Dalam Muktamar 1984 terdapat regenerasi kepemimpinan di PBNU, yaitu terpilihnya duet kepemimpinan KH. Achmad Shiddiq menjadi Rais Aam PBNU dan KH. Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan KH. Idham Chalid.

2. NU Masa Reformasi 1998 Hingga Sekarang

Pada pertengahan 1997 Indonesia dilanda krisis moneter sangat dahsyat, yang kemudian meluas pada krisis ekonomi dan politik. Krisis ini kemudian bergesar pada krisis kepemimpinan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Krisis multidimensi ini kemudian melahirkan gerakan reformasi yang digalang kelompok menengah dan mahasiswa. 

Pada akhirnya krisis ini kemudian memicu ketidakpercayaan masyarakat dan memunculkan protes besar-besaran terutama dari kalangan mahasiswa. Ratusan ribu mahasiswa turun kembali ke jalan menuntut turunnya presiden Soeharto sebagai presiden dan mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada hati nurani rakyat. Kekuasaan presiden diserahkan kepada wakil presiden BJ. Habibie tanggal 21 Mei 1998.

Menyikapi kondisi bangsa yang semakin tidak menentu dengan jatuhnya korban mahasiswa dalam peristiwa dan Semanggi, PBNU mengeluarkan sikap resmi :

  1. Menyatakan keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban dan mengutuk aparat keamanan dan pihak-pihak lain yang menjadi dalang serta tindakan brutal,
  2. Mengucapkan belasungkawa pada para korban, mengutuk aparat keamanan dan pihak yang menjadi dalang dan pelaku tindakan brutal terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang tidak berdosa.
  3. Mendesak pada pihak-pihak yang mengatasnamakan umat Islam dan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya.
  4. Menyesalkan sikap MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang terkesan tidak mengayomi umat dan memberi ruang gerak bagi munculnya gerakan-gerakan mernaksakan kehendak untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu yang dapat memperkeruh situasi yang berkaitan dengan SI MPR 1996.
  5. Mendesak para pemimpin dan aparat pemerintah tidak dapat menjalankan amanat rakyat dalam menjaga persatuan dan kesatuan, serta tidak memberantas KKN sebagai tuntutan rakyat, agar mengundurkan diri dari jabatannya.
  6. Mengimbau warga Nu dan umat Islam pada umurnnya senantiasa takarub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah) dan menjauhkan diri dari tindakan anarkis yang dapat merugikan kepentingan serta kesatuan negara.

Pada periode 1999 - 2004 telah terjadi perubahan besar berkaitan dengan penyikapan terhadap khitthah NIJ 1926. Buah dari reformasi telah memberikan peluang warga NU untuk mendirikan partai politik baru. 

Pro kontra telah terjadi, tetapi dengan berbagai pertimbangan politik, maka warga NU perlu mempunyai wadah penyaluran aspirasi politik yang representatif. Maka kemudian berdirilah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bersamaan dengan iłu maka syahwat politik warga NU tidak bisa terbendung dan bergabunglah mereka ke PKB sementara mereka banyak yang masih menjabat sebagai pengurus Nu di semua tingkatan.

Dałam kondisi seperti iłu, maka pelaksanaan khitthah NU menghadapi banyak persoalan. Terlebih setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden, nuansa politik NU cenderung menjadi lebih menonjol dan seolah-olah misi dari khitthah NU agak terlupakan. 

Upaya untuk mengembalikan NU ke khitthah terus dilakukan, ułamanya pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi. Rangkap jabatan tidak diperbolehkan dałam kepengurusan NU di semua tingkatan. 

Bagi mereka yang menjadi pengurus partai politik (tidak hanya PKB) tidak boleh merangkap menjadi pengurus NU. Demikian pula bagi mereka yang ingin menjadi calon legislatif (DPR) tidak boleh membawa-bawa bendera NU untuk kepentingan politiknya. 

Kebijakan itu menjadi mentah setelah KH. Hasyim Muzadi digandeng Megawati Soekarno Putri menjadi calon wakil presiden. Di sini Khitthah NU diuji kembali, namun keputusan khitthah tetap berjalan meskipun banyak rintangan.

Nahdlatul Ułama harus tetap dikembalikan pada misi semula sebagai gerakan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Gerakan pemikiran, pemberdayaan masyarakat pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemberdayaan pendidikan terus berjalan meskipun godaan politik terus berjalan. Perlu ditumbuhkan kembali semangat khitthah NU 1926 agar perjuangan NU menjadi lebih bermakna bagi masyarakat.

Warga NU harus menjadikan pelajaran yang berharga bahwa perpecahan di tubuh NU sering terjadi dikarenakan tarik menarik kepentingan politik. Perpecahan di PKB misalnya baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat merugikan warga NU itu sendiri. Karena itu penegakan terhadap prinsip Khitthah bisa menjadi salah satu alternatif penyelesaian.

Kader NU termasuk pelajar menjadi harapan utama untuk bisa melaksanakan nilai-nilai khitthah NU secara konsisten dan bertanggung jawab. Tidak mudah terbawa oleh arus dinamika politik.

Konsentrasi pelajar agar menjadi warga NU yang berkualitas dan mampu bersaing dengan orang lain. Tidak ikut-ikutan setiap ada pesta demokrasi seperti pemilu legeslatif, pilpres, pilkada, dan pilkades harus menjadi prinsip setiap pelajar NU.