Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KHITTHAH NAHDLIYAH

Daftar Isi [Tampilkan]

Secara harfiah, khitthah artinya garis. Dalam hubungan dengan NU, kata Khitthah berarti garis-garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian Nahdlatul Ulama, baik yang berhubungan dengan keagamaan, kemasyarakatan, perorangan maupun organisasi.

Khitthah adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Landasan khitthah adalah paham Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia.

Khitthah NU digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dan masa ke masa.

Gagasan kembali ke khitthah NU 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959 dari seorang pengurus cabang NU Mojokerto, KH. Achyat Chalimi.

Gagasan berikutnya untuk memunculkan kembali ke Khitthah 1926 dari seorang ulama besar KH. Wahab Hasbullah yaitu pada Muktamar ke 25 Surabaya, kemudian pada Muktamar ke 26 di Semarang tahun 1979 oleh seorang ulama berpengaruh di Jawa Timur KH. Machrus Ali, yang menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan batiniah yang parah dalam NU, dan para tokohnya, karena dianggap cinta kekuasaan dan kedudukan. Yang terakhir digagas oleh para pemikir muda diantaranya KH. Abdurrahman Wahid, HM. Zamroni, Said Budairy, H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja yang dikenal dengan Tim Tujuh merumuskan konsep khitthah 1926 dalam pembahasan Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo tanggal 8 – 12 Desember 1984.

Tujuan yang pertama dan utama khitthah nahdliyah adalah menjadi pedoman dasar bagi warga NU, terutama pengurus, pemimpin dan kader-kadernya

Butir-butir Khitthah Nahdliyah :

  1. Dasar-dasar keagamaan NU, meliputi :
    1. NU mendasarkan paham keagamaan kepada sumber ajaran Islam, yakni Alquran, Al Hadis, Ijmak, dan Qiyas
    2. NU mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab)
      1. Di bidang akidah, mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi
      2. Di bidang fikih, mengikuti salah satu mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali
      3. Di bidang tasawuf, mengikuti Imam Abul Qosim al Junaidi al Baghdadi dan Imam Al Ghozali
  2. Sikap kemasyarakatan NU :
    1. Sikap tawasuth dan iktidal (jalan tengah atau tegak lurus)
    2. Sikap tasamuh (toleransi)
    3. Sikap tawazun (keseimbangan)
    4. Waljamaah (mendorong berbuat baik dan mencegah berbuat jelek)
  3. Sikap NU dalam berbangsa dan bernegara :
    1. Taat hukum, menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945
    2. Memegang teguh ukhuwah dan tasamuh
    3. Warga NU tetap memiliki hak-hak politik, tetapi secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun
    4. Menumbuhkan sikap demokratis dan konstitusional dalam menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab

Dinamika Khitthah Nahdliyah

a. Khitthah NU 1926

keputusan penting yang diambil dalam Muktamar NU ke 27 tanggal 8-12 Desember 1984 di Situbondo adalah :

  1. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan NU
  2. Pemulihan supermasi kepemimpinan Syuriah atas Tanfidziyah dalam status hukum
  3. Secara organisatoris melarang pengurus NU bersamaan menjadi kepengurusan di partai politik (rangkap jabatan)

b. NU masa Reformasi 1998

  1. Kejayaan Orde Baru runtuh bersamaan dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Di era ini yang sering disebut dengan era reformasi memicu munculnya berbagai euforia termasuk di dalamnya “euforia politik”. Dalam suasana seperti ini warga NU termotivasi untuk mendirikan partai politik yang kemudian diberi nama “Partai Kebangsaan Bangsa (PKB)”
  2. Pada periode 1999 – 2004 telah terjadi perubahan besar berkaitan dengan penyikapan terhadap khitthah 1926, lebih-lebih setelah Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI, nuansa politik NU cenderung lebih menonjol dan seolah-olah misi khitthah NU agak terlupakan. Untuk mengembalikan NU ke Khitthah 1926 terus dilakukan, utamanya pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi, rangkap jabatan tidak diperbolehkan dalam kepengurusan NU.