Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Talfiq adalah, Contoh dan Hukumnya

Daftar Isi [Tampilkan]

Dalam persoalan mazhab sering kita mendengar istilah talfiq. Secara bahasa talfiq berarti melipat. Dari sudut pandang keilmuan Ushul al-fiqh, ada beberapa makna Talfiq, yaitu: 

  1. Talfiq adalah mencampur adukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun. 
  2. Talfiq artinya beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya.
  3. Talfiq adalah perbuatan mencampurkan berbagai Pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab. 

Para fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu'iyah ijtihadiyah dhanniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi;yang masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq. Dan tidak di perbolehkan bertalfiq ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth'i, seperti zina dan minuman keras. 

Berikut ini adalah contoh talfiq dalam ibadah:

  1. Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan ala- san mengikuti madzhab imam Syaffi, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudhunya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudhu'nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi'iyyah, wudhu'nya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudhu'nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok. 
  2. Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafiiyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudhu', kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudhu' ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudhu' seperti ini untuk menunaikan shalat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun.

Kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima, 

Menanggapi hukum boleh tidaknya talfiq ini, ulama' terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : 

1) Kelompok yang tidak membolehkan adanya talfiq

kelompok ini diwakili oleh syeikh Ibnu Abdul Bari, menurut beliau orang awam tidak boleh bertalfiq, karena hal tersebut hanya akan menghilangkan taklif (pembebanan) hukum yang diperselisihkan (mukhtalaf fih) oleh para ulama. 

Pendapat pertama ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali. Beliau melarang praktik talfiq dengan alasan hal tersebut condong pada mengikuti hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan pada syari'at bukan kepada hawa nafsu. 

2) Kelompok yang membolehkan praktik talfiq

diantaranya adalah sebagian ulama' Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi'i serta Abu Hanifah: mereka membolehkan talfiq dengan alasan bahwa larangan talfiq tersebut tidak ditemukan dalam syara', karenanya seorang mukallaf boleh menempuh hukum yang lebih ringan. 

DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar’iyat. 

'Izzuddin Bin Abdi al- Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil rukhsah beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah da- lam surat al-Hajj ayat 78: "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. 

Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

Kalau kita lihat beberapa pendapat di atas, ternyata tidak ada qoul (pendapat) yang memboleh- kan talfiq secara mutlak. Oleh karena itu, ada beberapa klasifikasi talfiq yang perlu diperhatikan. 

Pertama, talfiq batal secara esensi, seperti melakukan sesuatu yang menyebabkan penghalalan barang yang haram, seperti menghalalkan khamr, zina dan lainnya.

Kedua, talfiq yang dilarang bukan pada esensinya, tetapi karena faktor eksternal. Dalam kasus kedua ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 

  1. Mengambil pendapat yang mudah-mudah seperti mengambil pendapat setiap mazhab yang termudah bukan karena dharurat atau 'udzur. Hal ini dilarang agar seseorang tidak melepaskan diri dari pembebanan-pembebanan syar'i. 
  2. Talfiq tidak boleh berlawanan dengan keputusan hakim. 
  3. Talfiq tidak boleh mencabut kembali hukum atau keputusan yang telah diikuti atau disepakati ulama. 

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demi kemaslahatan, sebenarnya masih ada ruang untuk talfiq. Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi dharurat, maka talfiq menjadi satu-satunya pilihan yang mesti ditempuh asal tidak bertentangan dengan syara' (maqashid al-syari'ah). Dan yang penting diperhatikan praktek talfiq bukan sekedar untuk mengambil kemudahan saja, tetapi bertujuan agar keluar dari jeratan kemudharatan.