Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Taklid adalah, Hukum, Pembagian dan Taklid dalam Pandangan NU

Daftar Isi [Tampilkan]

Pengertian Taqlid 

Kata taqlid berasal dari kata qallada yang artinya mengikat atau mengikut. Ada sebagian ulama ahli bahasa berpendapat bahwa istilah taklid berasal dari "qiladah" yang berarti kalung atau rantai yang diikatkan.

Secara istilah, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain yang merupakan hasil ijtihad, karena tidak mengerti dalil-dalil atas sebuah persoalan. Orang yang melakukan taqlid disebut muqallid. 

Berikut ini adalah hal-hal penting yang terkandung dalam pengertian taqlid: 

  1. Pertama, taqlid adalah mengambil pendapat orang lain atas hasil ijtihadnya. 
  2. Kedua, taqlid itu terjadi karena tidak mengerti dasar atau dalil dari suatu peristiwa atau kejadian. Sebab secara umum muqallid (orang yang bertaqlid) adalah orang bodoh yang tidak mampu dan tidak mempunyai pandangan dalam suatu dalil. 
  3. Ketiga, taqlid itu terbatas pada soal ijtihad, artinya sesuatu yang mubah dalam ijtihad dari berbagai masalah, maka yang demikian dibolehkan taqlid, namun sesuatu yang haram dalam ijtihad haram pula ada taqlid di dalamnya. 
  4. Keempat, orang yang bertaqlid hendaknya mengikuti imam mujtahid dalam hasil ijtihadnya, bukan untuk menguatkan, membenarkan, atau menyalahkan. Karena yang namanya muqallid itu tidak mampu atas hal itu. Yang demikian disebut taqlid yang mengikutkan, seolah-olah muqallid meletakkan persoalannya kepada seorang mujtahid, sama halnya sebuah kalung yang dikalungkan di atas lehernya. 

Hukum Taqlid

Secara umum menurut sebagian ulama besar ahli fiqh, taqlid itu hukumnya jaiz (boleh). Tentu, bagi mereka yang tidak mampu mengemukakan pendapatnya melalui dalil dan istinbath hukum. Hukum taqlid terjadi tafsil, perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh. 

Taqlid yang dibolehkan harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut. 

  1. Orang yang bertaqlid tidak mampu memahami hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya (benar-benar bodoh). Jika orang tersebut mampu melakukan ijtihad boleh saja bertaqlid dengan alasan untuk dibuat perbandingan dalil, sempitnya waktu untuk mengadakan ijtihad, tidak ada kejelasan dalil terhadap suatu masalah. Bila kelemahan ini terjadi maka gugurlah bagi dirinya kewajiban ijtihad, dan berganti menjadi taqlid. 
  2. Bertaqlid kepada orang yang diketahui memiliki ilmu ijtihad dan mujtahid dari ahli agama dan ahli kebajikan. 
  3. Bagi muqallid tidak perlu dijelaskan dan ditampakkan dalil atau pendapat lain yang lebih kuat di luar yang diikutinya. Karena jika muqallid itu mengerti kebenaran dan memahami dalil-dalil, maka yang demikian tidak diperkenankan bertaqlid, tetapi wajib mengikuti apa yang diterangkan kebenarannya itu. 
  4. Materi taqlid itu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syar'i atau bertentangan dengan kepentingan umat. 
  5. Seorang muqallid tidak boleh menekankan pada mazhab tertentu dalam berbagai masalah, tetapi berjalan diatas kebenaran, bahkan mengikuti yang lebih dekat dengan kebenaran dibarengi dengan taqwa kepada Allah Swt sesuai dengan kemampuannya. Bagi muqallid diharapkan ada perbandingan hukum untuk tidak berpindah-pindah madzhab. Karena dikhawatirkan mereka hanya mengikuti yang mudah dan gampang-gampang saja bagi dirinya, dan cenderung untuk lebih mengikuti hawa nafsunya semata. 

Adapun taqlid yang tercela dan dilarang, diantaranya: 

  1. Bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Hadis, atau mengikuti ajaran nenek moyang mereka. 
  2. Taqlid terhadap pendapat yang bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya.

Wahai generasi penerus NU yang cerdas, perlu kalian perhatikan bahwa yang dimaksud dengan taqlid dalam pembahasan ini adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walupun mengetahui keshahihan hujjah taqlid itu sendiri. 

Menurut KH. Bisri Musthofa, taqlid artinya berpegang dan atau mengamalkan keterangan mujtahid tanpa harus mengetahui dalil-dalilnya. Orang bertaqlid tidak perlu mengucapkan iqrar "saya bertaqlid kepada imam syafi'i", tetapi cukup orang itu merasa bahwa amaliahnya sesuai dengan amaliah dan pendapat Imam Syafi'i.

Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid (awam), Dengan demikian yang bertaqlid itu hanya orang awam saja, orang-orang alim pun juga muqallid kepada imam mujtahid sepanjang dirinya tidak dalam derajat mujtahid. Mereka tetap wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka terbatas pada dalil yang digunakan, tidak sampai pada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan hukum.

Bagi orang awam dan orang alim yang belum mencapai tingkatan mujtahid harus bertaklid kepada mujtahid. Sehingga kedudukan fatwa mujtahid terhadap orang awam adalah 

seperti dalil al-Qur'an dan Hadis bagi seorang mujtahid. Karena al-Quran telah mewajibkan orang alim agar berpegangan dengan dalil dan keterangan al-Quran, juga mewajibkan kepada orang awam berpegangan kepada fatwa dan ijtihadnya orang alim.

Taqlid itu dibagi menjadi dua, yaitu: 

  1. taqlid a'ma (buta) yang menerima pendapat mentah-mentah
  2. taqlid ‘alim ghairu mujtahidin, orang pandai tapi belum sampai pada tingkatan mujtahid. 

Mengikuti pendapat para imam mujtahid itu lebih baik dari pada memaksakan diri untuk berijtihad. Taqlid adalah sesuatu yang harus dilakukan bagi setiap orang Islam yang bukan mujtahid. Seperti bersedekap dalam salat, dan mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, adalah perbuatan yang sudah tentu dilakukan walaupun masih belum mengetahui dan meneliti dalilnya, apakah shahih atau tidak. 

Bertaqlid itu bagaikan seorang dokter yang mengambil Obat untuk diberikan kepada pasiennya. Tentu dia akan mengambil Obat tersebut dari apolik atau perusahan Obat yang harus meneliti dan membuat Obat itu lebih dulu. Demikian juga guru geografi misalnya, dia menerangkan kepada muridnya bahwa bumi ini bundar mengikuti teori Galilio Galilie dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri, demikian seterusnya. 

Taqlid merupakan sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat dihindari keberadaannya. Meski demikian umat Islam tidak boleh terjebak pada taqlid buta. Karena hal ini akan menggambarkan keterbelakangan dan rendahnya kualitas individu umat Islam. Umat Islam tetap diperintah untuk keluar dari kebodohan, sehingga hidupnya tidak terbelenggu oleh keterbelakangan. Disinilah pentingnya menggalakkan dan mengintensifkan pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya. 

Terhadap persoalan taqlid ini warga NU diharapkan: 

  1. Tetap mengikuti pendapat atau amaliah para Imam Mujtahid sepanjang dirinya belum sampai pada derajat.
  2. Bila tergolong awam, ia harus bertaqlid untuk menghindari dari kesalahan, kesesatan dalam beribadah dan bermuamalah. 
  3. Jika mampu, selalu berusaha untuk mengetahui dalil dan petunjuk dari sebuah perbuatan ibadah yang dilakukan sehari-hari. 
  4. Bertaqlid kepada imam mujtahid, atau para ulama yang mumpuni keilmuannya. Minimal kepada seorang kiai yang tidak diragukan keilmuannya di tengah masyarakat. 

Taqlid dalam Pandangan Ulama NU

NU menyarankan kepada kaum muslimin, khususnya yang awam, untuk bertaqlid kepada madzhab yang empat (Hanafi, Hanbali, Maliki, Syafi'i). Meski NU mewajibkan taqlid bagi orang awam, bukan berarti NU menyuruhnya taqlid. Bagi mereka yang memiliki kesempatan dan kemampuan berijtihad tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha. Mengkaji seluk beluk dalil dan hujjah para fuqaha adalah cara agar kita tidak terjebak pada fanatisme buta. 

Orang-orang yang memiliki ilmu agama mendalam tetapi tidak memenuhi persyaratan mujtahid, lebih baik taqlid (mengikuti) kepada ulama yang memiliki kemampuan berijtihad karena telah memenuhi persyaratannnya. Bagi NU, taqlid tidak h6anya berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti jalan pikiran imam madzhab dalam menggali hukum. 

Menurut Kiai Muchith Muzadi, cara beragama yang terbaik adalah dengan menjadi muqallid yang terus-menerus senantiasa belajar meningkatkan pola keberagamaan umat. Atau meminjam bahasa Abdurrahman Mas'ud, yaitu menjadi muqallid kritis, sebagaimana dilakukan oleh Syaikh Nawawi Al-Jawi. Posisi Kiai Muchith yang menjadi muqallid kritis bisa dipahami karena Kiai Muchith hidup dan tumbuh di lingkungan pesantren yang sangat ta'dzim pada guru yang bersambung sanad belajar pada para muallif kitab dan (bahkan) pendiri madzhab. 

Kiai Nuril Huda, seorang tokoh NU, pernah menulis, bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam.

Lalu kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam ilmu Fiqih. 

Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat Mereka adalah orang yang takut kepada Allah Swt dan telah telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Al-Ijma dan Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. 

Tentu taqlid semacam itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mari kita perhatikan firman Allah Swt. dalam surat an-Nahl/16 ayat 43 berikut ini: 

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

43.  Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. an-Nahl/16 ayat 43) 

Ayat diatas berisi perintah Allah Swt. untuk bertanya kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (fas'alu ahladz-dzikri in kuntum laa ta'lamun). Dengan kata lain merupakan perintah untuk taqlid.

Fatwa para mujtahid dan hukum-hukum yang telah dihasilkan dari istinbath dan ijtihadnya, telah absah sebagai dalil bagi kalangan ahli taqlid. Imam al-Syatibi mengatakan, fatwa-fatwa kaum mujtahidin bagi orang awam adalah seperti beberapa dalil syar'i bagi para mujtahidin. Itulah sebabnya, maka kita-kitab fiqih di kalangan ulama Syafi'iyah menjadi penting dan berkembang dalam ratusan bahkan mungkin ribuan judul dengan berbagai analisis, penjelasan dan tidak jarang berbagai kritik (intiqad dan radd).

Kitab yang besar diringkas menjadi mukhtashor, nadhom dan matan. Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyah menjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, Syeikh Mahfudh al-Tarmasi (dari Termas Jawa Timur) menulis hasyiyah kitab Mauhibah empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak). 

Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah. Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah; bi al-sama' kemudian bi al-qira'ah dan lalu bi al-ijazah, maka para ulama da!am menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi’i (atau panutan mazhabnya). 

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa taklid dalam pandangan NU sebenarnya merupakan pengamalan ajaran agama Islam dengan cara mengikuti beberapa pendapat ulama (syafi'iyah) yang proses pembelajarannya melalui silsilah sanad yang sampai pada pengarang kitab tersebut, yang dalam ilmu hadis disebut metode isnad.

Dalam ajaran Ahlussunnah waljamaah setiap orang mukalaf yang bukan mujtahid (baik dari mujtahid mutlak sampai mujtahid muqayyad), maka ia diperkenankan untuk melakukan taklid. Dalam masalah fikih bertaklid dengan salah satu dari mazhab empat, yaitu Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Ahmad Ibn Hanbal. Dalam bidang Tauhid dengan dua mazhab yaitu Imam Abu Hasan al-Asyari, Abu Mansur al-Maturidi, dalam bidang tasawuf Imam al Ghazali dan Imam Abu Qasim al-Junaidi.