Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tokoh Penyebaran Agama Islam Pasca Walisongo

Daftar Isi [Tampilkan]

Ulama Penyebar Islam Pasca Walisongo

Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara Ulama penyebar Islam Pasca Walisongo tersebut antara lain:

1. Hamzah Fansuri

la hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.

Pada mulanya Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani. Pengaruh Hamzah Fansuri cepat tersebar di seluruh Nusantara terutama melalui pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama di perantauan ke berbagai tempat dan melalui karya- karyanya yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-mana. 

Hamzah Fansuri tidak saja dikenal sebagai ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka tetapi juga seorang perintis dan pelopor pembaharuan yang sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara, khususnya di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra.

Di bidang keilmuan, Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Hamzah Fansuri muncul, masyarakat Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.

Hamzah Fansuri juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu. Dasar-dasar puitika ini terekam dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang diketahui tidak kurang dari 32 untaian. Syair ini dianggap sebagai syair Melayu pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a-a-a-a pada setiap barisnya. 

Ciri-ciri karya Hamzah Fansuri yang menonjol akhirnya dijadikan semacam konvensi sastra atau puisi Melayu klasik, yaitu: 

  • Pertama, pemakaian penanda kepengarangan. 
  • Kedua, banyak petikan ayat al-Qur'an, Hadits, Pepatah, dan kata-kata Arab, hal itu menunjukkan derasnya proses Islamisasi untuk pertama kalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu abad ke-16. 
  • Ketiga, dalam setiap bait terakhir syairnya selalu mencantumkan takhallus (nama diri), yaitu nama julukan yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau tempat ia dibesarkan. 
  • Keempat, terdapat pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan oleh penyair-penyair Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasannya. 
  • Kelima, paduan yang seimbang antara diksi atau pilihan kata, rima dan unsur-unsur puitik lainnya.

Sumbangan pemikiran selanjutnya mengenai kebahasaan dapat dibaca dalam syair- syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. 

Islamisasi bahasa sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan dalam sistem bahasa dan budaya Melayu. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman bahkan sesudahnya.

Dalam bidang kebahasaan, Hamzah Fansuri telah memberikan banyak sekali sumbangan pemikiran. la merupakan penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu. Ia telah berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang hebat. 

Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa- bahasa Nusantara lainnya pada waktu itu. Oleh karena itu, pada abad ke-17 bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar pada berbagai lembaga pendidikan Islam. 

Bahkan digunakan pula oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini memberikan peluang besar terhadap bahasa Melayu untuk berkembang maju dan dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan Indonesia pada dewasa ini.

Dalam bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah mempelapori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian. Sebagai contoh, dalam tulisannya Rahasia Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri menyampaikan analisisnya dengan tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemology dan estetika.

2. Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari

Beliau lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 - meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun. Beliau adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Iahir dan hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. 

la mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian. la adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.

Guru-gurunya antara lain Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani. 

Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qira'at. la bahkan mengarang kitab qiraat yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar. 

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). 

Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena menikah dengan anak pertamanya.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. la menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Pada bulan Ramadhan 1186 H, bertepatan dengan tahun 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. 

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Kiprahnya tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren berikut sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi ia juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah. Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya.

Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang) ini dikebumikan.

3. Syaikh Muhammad Yusuf al Makassari

Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya: Sayid Ba Alwi bin Abdullah al-'Allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin ar- Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih as-Sa'di al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub ad-Dimasyqi al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.

4. Syaikh Abdus Samad al Palimbani 

la merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San'a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah: Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis al- Batawi dan Daud al-Tatani.

Semasa hidup, Syekh Abdus Shomad tidak hanya aktif dalam berdakwah ke berbagai daerah di Timur Tengah, tetapi juga menjadi seorang penulis yang produktif. Kitabnya sampai sekarang masih dibaca dan dipelajari di Palembang, terutama Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin. Adapun beberapa karya Syekh Abdussamad al Palimbani adalah:

  1. Zuhratul Murid (Mantiq, 1764)
  2. Tuhfat al-Raghibin (1774)
  3. Urwat al-Wusqa (Tarekat Sammaniyah)
  4. Ratib Abdus Somad
  5. Zad al-Muttaqin (Tauhid)
  6. Siwatha al-Anwar
  7. Fadhail al-Ihya li al-Ghazali (Tasawuf)
  8. Risalah Aurad wa Zikir
  9. Irsyadan afdhal al-Jihad
  10. Nasihat al-Muslimin wa Tazkirat al-Mukminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah (Perang Sabil)
  11. Hidayat al-Salikin (Tasawuf, 1778)
  12. Sair as-Salikin (Tasawuf, 1779-1788)

5. Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani

Dalam khazanah keilmuan Islam klasik (salafiyyah) di Indonesia (termasuk di dunia), nama Syekh Nawawi al Bantani jelas sudah tidak asing lagi. Beliau adalah salah seorang putera terbaik Indonesia yang dalam sejarahnya memiliki pengaruh sangat besar di pusat studi keislaman yang saat itu berada di Mekkah. 

Sebagai guru besar dalam berbagai fan ilmu pengetahuan baik tafsir, fiqih (syariah), tauhid (kalam), lughah (bahasa), maupun adab (sastera), Syekh Nawawi jelas memiliki kapasitas keilmuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh ulama pada masanya di seluruh dunia, paling tidak melalui murid-muridnya. 

Oleh karenanya, diantara sekian banyak nama putera terbaik Indonesia yang pernah menjadi "kampiun" di pusat-pusat keislaman dunia, nama Syekh Nawawi al-Bantani jelas merupakan tokoh paling sentral.

Dalam kaitan dengan konteks keindonesiaan, beliau dikenal sebagai Bapak Pesantren Indonesia. Meskipun beliau bukanlah pendiri pesantren pertama, tidak pula mengelola pesantren yang cukup besar bahkan sebagian besar waktunya tidak dihabiskan di tanah air, namun tulisan-tulisannya yang berjumlah sekitar 115 buah kitab hampir seluruhya diadopsi di pesantren-pesantren di Indonesia dan menjadi kurikulum utamanya hingga sekarang.

Di samping itu, meski berada di Mekkah, melalui murid-muridnya yang berasal dari Indonesia seperti Syekh Kholil waliyyullah (Bangkalan-Madura), KH. Asy'ari (Bawean; murid sekaligus anak menatu Syekh Nawawi dari puteri beliau yang Bernama Maryam binti Syekh Nawawi), dan Hadratus Syekh KH. M Hasyim Asy'ari (Tebuireng-Jombang-Jawa Timur; pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama), beliau aktif memantau perkembangan Islam dan politik di Indonesia yang saat itu berada di bawah tekanan kolonial Belanda.

Beliau juga banyak menyumbangkan pemikiran untuk kemajuan bangsa Indonesia. Bahkan, di Mekkah, melalui sebuah perkumpulan yang disebut Koloni Jawa, dengan berbagai ikhtiar dan sumbangsih, beliau aktif membina dan memberdayakan masyarakat Indonesia di sana.

Demikian besar pengaruh Syekh Nawawi al Bantani, beberapa julukan kehormatan dari Saudi Arabia, Mesir, dan Suriah pun diberikan kepadanya, diantaranya adalah Sayyidu 'Ulama' al-Hijaz (Pemuka Ulama Hijaz), al-Mufti (Pemberi Fatwa), dan al-Faqih (Pakar Fikih/orang yang sangat dalam ilmunya). Beliau juga cukup produktif dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam banyak cabang ilmu pengetahuan. Tidak mengherankan jika Syekh Nawawi alBantani juga mendapat julukan "Si Pena Emas".

Nawawi al Bantani lahir di kampung Tanara kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 H atau 1813 M. Nama lengkapnya adalah Muhamad Nawawi bin Umar bin Arabiy. 

Setelah menjadi ulama besar dan tersohor, beliau dikenal dengan nama Syekh Abu Abdil Mu'thi Muhammad Nawawi ibnu Umar ibnu 'Arabiy at-Tanari al-Bantani al-Jawi, suatu nama yang secara lengkap menyebut identitas diri dan daerah asalnya. Ayahnya, KH. Umarbbin'Arabiy adalah seorang ulama dan penghulu di Tanara. Sedangkan ibunya, Nyai Zubaidah adalah penduduk asli Tanara.

Di masa kecil, Nawawi al Bantani mengenyam pendidikan dari orangtuanya. Kemudian ia belajar kepada Kyai Sahal (Banten) dan KH. Yusuf (Purwakarta). Pada sekitar usia 15 tahun, ia menunaikan ibadah haji ke Mekkkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Selama itu, ia banyak menimba ilmu pengetahuan dari beberapa syekh di perguruan tinggi di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Selain itu, ia juga belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khathib al-Hanbali.

Pada sekitar tahun 1248 H (1831 M), ia kembali ke tanah kelahirannya di Tanara dan mengelola pesantren peninggalan orang tuanya. Namun karena kondisi politik kolonial yang tidak menguntungkan, maka selama tinggal selama 3 tahun di Tanara, ia kembali ke Mekkah dan memperdalam lagi ilmu pengetahuannya kepada Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Yusuf Sumulawaini, dan Syekh Abdul Hamid ad-Daghistani. Di Mekkah, beliau tinggal di perkampungan Syi'b Ali. Selain belajar di Mekkah dan Madinah, beliau juga pernah menimba ilmu pengetahuan di Mesir dan Syam (Siria).

Dengan bekal ilmu pengetahuan yang ditekuninya selama sekitar 3 dekade, Nawawi al-Bantani kemudian mengajar di Masjidil Haram, Mekkah. Murid-murid beliau berasal dari berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia.

Seorang murid Syekh Nawawi al-Bantani yang bernama Syekh Abdus Sattar adDahlawi menceritakan, bahwa sejak belajar di Mekkah, Madinah, Mesir, dan Siria, beliau (Syekh Nawawi al-Bantani) dikenal sebagai seorang yang sangat bersahaja, taqwa, zuhud, dan tawadlu' di samping memiliki jiwa dan kepekaan sosial yang sangat tinggi serta bertindak tegas dalam hal kebenaran. 

Beliau adalah seorang ulama bermadzhab Syafi'iy yang dikenal sangat ahli dalam ilmu tafsir, tauhid, fiqih, lughah, dan juga tasawuf. Pernah suatu ketika beliau diajak berkunjung untuk pertama kalinya ke Mesir oleh Syekh Abdul Karim bin Bukhari bin Ali (seorang tokoh tarekat Qadiriyah yang juga berasal dari Tanara-Banten). 

Meskipun beliau (Syekh Nawawi) baru pertama kali ke Mesir, nama beliau saat itu sudah sangat populer dan amat disegani oleh ulama-ulama di sana lantaran tulisan-tulisannya yang banyak dibaca dan dipelajari.

Sesampainya di Mesir, para ulama Mesir bertanya kepada Syekh Abdul Karim bin Bukhari bin Ali: "Kami telah banyak mendengar tentang seorang ulama asal Jawa di Mekkah yang bernama Syekh Muhammad Nawawi. Tulisan-tulisannya telah berulang- kali dicetak di sini. Sungguh, jika di ibaratkan makanan, tulisan-tulisan beliau sangat lezat rasanya. Kami semua sangat mendambakan bisa bertemu dengan beliau."

Syekh Abdul Karim bin Bukhari bin Ali lalu memegang pundak Syekh Nawawi dan menjawab: "Hadza Huwa (inilah beliau)". Kontan setelah mereka mengetahui Syekh Nawawi berada di tengah-tengah mereka, mereka langsung berrebut mencium tangan beliau.

Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun, pada tanggal 25 Syawal 1314 H (1897 M) di kediamannya di Syi'b Ali, Mekkah. Jenazah beliau dikebumikan di pekuburan Ma'la, Mekkah, berdampingan dengan kuburan Syekh Ibnu Hajar alHaitsami dan Siti Asma' binti Abi Bakar Ra. Beliau wafat meninggalkan 4 orang puteri : Ruqayyah, Nafisah, Maryam (dinikahkan dengan murid beliau yang bernama KH. Asy'ari - Bawean), dan Zahrah.

6. Syekh Kholil Bangkalan Madura

Syekh Kholil (biasa disebut Mbah Kholil) lahir pada hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M. Ia berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati.

Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Kyai Abdul Karim adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati, Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati yang merupakan kakek moyangnya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu figh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait yang membahas ilmu nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 39 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan adDimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad alAfifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. 

Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dariberbagai madzhab yang mengajar di Masjid al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi'i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian ia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi'i.

Sewaktu berada di Mekkah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. 

Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul niat Bersama rekan-rekannya, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Shaleh as-Samarani (Kiai Saleh Darat, Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam Bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

Sepulang dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli fiqh dan tarekat. Bahkan pada akhirnya ia dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Ia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal alQur'an 30 Juz). Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. 

Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy'ari, dari Jombang. Mbah Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H atau 1925 Masehi.

7. KH Sholeh Darat

Muhammad Shalih bin Umar (lahir 1820 M) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat, adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat ia bermukim di sana. 

la dinobatkan menjadi salah seorang pengajar di Tanah Suci tersebut. Selain itu, ia adalah seorang ulama yang sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa.

Ayahnya, Kiai Umar, merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Sada' dan Kiai Murtadha Semarang. Kiai Shaih Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan informasi lain menyatakan bahwa Kiai Shaih Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Ia wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.

la disebut Kiai Sholih Darat, karena ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat. Adanya penambahan Darat sudah menjadi kebiasaan atau ciri dari oang-orang yang terkenal di masyarakat.

Kyai Sholeh Darat wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H bertepatan dengan 18 Desember 1903, dalam usia 83 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Bergota, Semarang.

8. KH Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. la merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. 

Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak, yaitu: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. 

Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.

Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo, organisasi yang melahirkan banyak tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. 

Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. 

Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.

Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. 

Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu sekarang dikenal dengan nama Pramuka dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai, antara lain: KH. Muhammad Shaleh Darat di bidang ilmu fikih; KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa Arab); KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); Kiai Mahfudz Tremas dan KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu al-Quran, serta Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.

Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen. Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Ahmad Dahlan maka negara menganugerahkan beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.

9. KH. M. Hasyim Asy'ari

Hasyim Asy'ari lahir pada hari selasa kliwon, 14 Februari 1871 M/24 Dzulq'dah 1287 H di Gedang, sebuah dusun kecil yang terletak di utara kota Jombang, Jawa Timur. la merupakan putera ke 3 dari 11 bersaudara. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim, dengan tambahan nama Asy'ari dibelakangnya yang dinisbatkan kepada nama ayahnya. 

Ayahnya, Kiai Asy'ari, adalah seorang ulama asal Demak, Jawa Tengah, yang dinikahkan dengan puteri Kiai Utsman, gurunya di pesantren Jombang. Kiai Asy'ari adalah keturunan kedelapan dari penguasa kerajaan Islam Demak, Jaka Tingkir, Sultan Pajang pada tahun 1568, yang merupakan keturunan Brawijaya VI, penguasa kerajaan Majapahit pada seperempat pertama abad XVI di Jawa. 

Kakek Hasyim Asy'ari, Kiai Utsman (ayah dari ibunda Hasyim Asy'ari), adalah pengasuh pesantren Gedang di Jombang, Jawa Timur, dan juga seorang pemimpin tarekat pada akhir abad XIX.

Hasyim Asy'ari dilahirkan di lingkungan pesantren Gedang setelah ibunya, Halimah, mengandungnya selama 14 bulan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, masa kehamilan yang sangat panjang mengindikasikan kecemerlangan sang jabang bayi di masa depan. Orang tuanya pun yakin akan isyarat ini, karena dikisahkan sang ibu di masa kehamilannya pernah bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit dan menimpa tepat di atas perutnya. 

Selanjutnya, orang tuanya menyaksikan bakat kepemimpinan yang dimiliki Hasyim Asy'ari pada masa kecil, yaitu setiap kali bermain dengan anak- anak sebaya di lingkungannya, dia selalu menjadi "penengah". Kapan pun dia melihat temannya melanggar aturan permainan, dia akan selalu menegurnya. Dia selalu membuat teman-temannya merasa senang bermain dengannya, dikarenakan sifatnya yang suka menolong dan melindungi.

Sejak kecil Hasyim Asy'ari juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan oleh sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan dirinya tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, dia selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang, hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

Adapun silsilahnya dari jalur ayah secara lebih rinci adalah: KH. M. Hasyim bin Asy'ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishak (ayah dari Raden Ainul Yaqin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Giri, anggota dari Walisongo, penyebar Islam di tanah Jawa).

Sedangkan silsilahnya dari garis ibu, KH. M. Hasyim Asy'ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng. Salah seorang keturunan Lembu Peteng yang sering disebut sebagai Jaka Tingkir atau Mas Karebet, merupakan salah satu moyangnya (Tingkir adalah nama sebuah daerah di Salatiga). 

Jaka Tingkir, yang kemudian menjadi Raja Pajang dan bergelar Adiwijaya, menurunkan putera bernama Pangeran Benowo. Pangeran Benowo mempunyal seorang anak bernama Muhammad alias Pangeran Sambo. Dari Pangeran Sambo inilah kemudian menurunkan Kiai Sikhah di Gedang, Jombang, (pendiri pesantren Tambakberas). Kiai Sikhah adalah cicit Pangeran Sambo. Puteri Kiai Sikhah, Layyinah, dinikahkan dengan seorang muridnya, Kiai Utsman, asal Jepara. Pasangan Kiai Utsman dan Layyinah ini mempunyai puteri bernama Halimah alias Winih. Halimah kemudian dinikahkan dengan Kiai Asy'ari, salah seorang murid Kiai Utsman yang berasal dari Demak.

Pada tanggal 3 Ramadhan 1366 H ., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. sekitar pukul 9 malam, usai Hasyim Asy'ari mengimami shalat Tarawih. Seperti biasa, ia duduk di kursi untuk memberikan pengajian. Tak lama kemudian, datang seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. 

Hasyim Asy'ari menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman. Hasyim Asy'ari meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:

Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.

Hasyim Asy'ari diminta untuk mengungsi ke Sarangan Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, ia akan dipaksa membuat statemen untuk mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.

Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Hasyim Asy'ari.

Keesokan harinya, Hasyim Asy'ari memberi jawaban bahwa ia tidak berkenan untuk mengungsi dan lebih memilih bertahan di Tebuireng. Empat hari kemudian, pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. 

Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepadanya yang intinya memohon Hasyim Asy'ari mengeluarkan komando "jihad fi sabilillah" bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban.

Tak lama berselang, Hasyim Asy'ari mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo yang lain, bahwa Kota Singosari di Malang (yang merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim spontan berujar, "Masya Allah, Masya Allah ... " sambil memegangi kepalanya. Lalu Hasyim Asy'ari tidak sadarkan diri. 

Pada saat itu, putera-puteri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut pemeriksaan dokter, Hasyim Asy'ari mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.

Akhirnya, pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari dipanggil yang Maha Kuasa. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Atas jasa-jasannya, Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 akhirnya menetapkan KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai Pahlawan Nasional. Hasyim Asyari wafat dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di komplek pemakaman pesantren Tebuireng.