Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Konsep Sustainability (Keberlanjutan)

Daftar Isi [Tampilkan]

konsep tentang sustainability sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Sustainability berasal dari kata latin "sustera " yang artinya menyangga, telah diadopsi dalam berbagai konsep pemikiran sumber daya alam dan lingkungan sejak abad ke 18 hingga saat ini. 

Selain pemikiran Thomas Malthus tentang pertumbuhan penduduk dan daya dukung alam yang dicetus pada tahun 1798, pemikiran tentang sustainability juga muncul sebelum konsep Malthus yakni pada tahun 1713 di Jerman. Pada periode ini di Jerman muncul istilah "nachhaltigkeit" yang merupakan konsep Jerman tentang keberlanjutan pada pengelolaan sumber daya hutan. 

Pemikiran tentang keberlanjutan ini kemudian mengemuka pada tahun 1970an dengan terbitnya buku yang ditulis oleh Meadow et al. 1972, yang berjudul "The Limit to Growth " (LTG), yang juga dikenal dengan Club of Rome. 

TLG menghadirkan model pemikiran kebutuhan dan ketersediaan sumber daya alam dalam menopang kehidupan manusia. Meski hasil model TLG tersebut dianggap kontroversial dan tidak akurat, namun telah memberikan peringatan penting kepada dunia tentang pentingnya memahami batasan yang dimiliki oleh sumber daya alam dalam menopang pertumbuhan ekonomi. 

Sejak terbitnya The Limit to Growth, perhatian terhadap konsep keberlanjutan terus bergulir. Pada tahun 1980 badan PBB untuk lingkungan yaitu UNEP menyusun World Conservation Strategy yang mencoba mencari solusi jangka panjang dan mengintegrasikan tujuan ekonomi dan konsern dalam pembangunan. Dalam dokumen strategi ini kata-kata sustainable kemudian muncul secara eksplisit dengan kalimat "development that is sustainable ". 

Pandangan integratif tentang pembangunan ini kemudian diwujudkan tujuh tahun kemudian dalam Bruntland's Report yang bertajuk "Our Common Future". Dalam laporan inilah kemudian definisi tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dibakukan. 

Menurut Our Common Future, pembangunan berkelanjutan kemudian diartikan sebagai "economic and social development that meets the needs of the current generation without under mining the ability of future generation to meet their own needs (WCED, 1987). 

Secara implisit konsep sustainable development yang dituangkan dalam komisi Bruntland tersebut mengandung dua konsensus antara pembangunan versus lingkungan atau dapat juga diartikan sebagai kebutuhan versus sumber daya dan jangka pendek versus jangka panjang. 

Meski demikian kesepakatan yang kini diadopsi secara umum adalah keberlanjutan harus dilihat dari tiga dimensi yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dikenal dengan konsep "Triple Bottom Line " yang dikenalkan oleh John Elkington (1994).

Konsep "triple bottom line " tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. Pada garis bawah yang pertama (first bottom line), adalah profit account dimana setiap usaha tentu saja memiliki orientasi untuk memperoleh keuntungan atau profit (termasuk menerima kerugian). 

Pada garis bawah yang kedua merupakan pengukuran "people account" atau neraca sosial. Konsep ini mengukur sejauh mana tanggung jawab sosial sebuah usaha atau kegiatan dilaksanakan. 

Bottom line yang ketiga disebut "planet account" atau neraca (pertimbangan) planet yang mengukur sejauh mana tanggung jawab terhadap lingkungan dijalankan. 

Dengan demikian Triple Bottom Line (TBL) mengandung unsur 3P yakni profit, people, dan planet. Awalnya konsep ini digunakan untuk mengukur keragaman atau performa korporasi atau perusahaan terkait dengan ketiga aspek di atas, namun konsep ini kemudian diadopsi untuk mengukur pembangunan ekonomi secara lebih makro.

Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, Elkington (1998) lebih jauh mengartikan keberlanjutan sebagai kondisi yang memenuhi tiga hal yakni: 

Pemanfaatan sumber daya terbaharukan yang tidak melebihi laju regenerasinya (pemulihan). 

Pemanfaatan sumber daya tidak terbaharukan yang tidak melewati pengembangan sumber daya terbaharukan sebagai substitusi sumber daya tidak terbaharukan. 

Laju emisi pencemaran tidak melewati kapasitas asimilasi dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan yang telah dibahas di atas masih sangat normatif sehingga aspek operasional dari konsep keberlanjutan inipun banyak mengalami kendala. Perman et al (1996) mencoba mengelaborasi lebih lanjut konseptual keberlanjutan ini dengan mengajukan lima alternatif pengertian yakni: 

Suatu kondisi dikatakan sustainable jika utilitas dari masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption) 

Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang 

Keberlanjutan adalah stok kapital alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non-declining) 

Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa dari sumber daya alam. 

Keberlanjutan adalah ketika kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi. 

Senada dengan pemahaman di atas, Daly (1990) menambahkan beberapa aspek mengenai definisi operasional pembangunan berkelanjutan yang antara lain: 

Untuk sumber daya alam yang terbarukan: Laju pemanenan harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari)

 Untuk masalah lingkungan: Laju pembuangan (limbah) harus setara dengan kapasitas asimilasi lingkungan 

Sumber energi tidak terbarukan harus dieksploitasi secara "quasisustainable" yakni mengurangi laju deplesi dengan cara menciptakan energi substitusi.

Hall (1998) menyatakan bahwa asumsi keberlanjutan paling tidak terletak pada tiga aksioma dasar, yakni: 

Perlakuan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan nilai positif dalam jangka panjang. 

Menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap "economic well-being". 

Mengetahui kendala akibat implikasi dimaksud dengan aset lingkungan. 

Selain definisi operasional di atas, Haris (2000) melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat dirinci menjadi tiga aspek keberlanjutan yang menyangkut aspek: 

Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan, dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. 

Lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. 

Sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, kemampuan menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik. 

Lebih lanjut Haris (2000) mengakui bahwa ketiga elemen keberlajutan ini mau tidak mau menambah kompleksitas konsep sederhana mengenai keberlanjutan yang sudah dicanangkan oleh komisi Bruntland. Oleh karenanya sulit untuk mencapai keberlanjutan secara simultan dari ketiga aspek di atas, sehingga dalam pembahasan buku ini hanya akan di kupas konsep keberlanjutan yang terkait dengan aspek ekonomi. 

Secara sederhana, dalam perspektif ekonomi, pandangan ekonomi neo-klasikal melihat bahwa keberlanjutan dapat diartikan sebagai maksimisasi kesejahteraan sepanjang waktu. Meski konsep kesejahteraan menyangkut dimensi yang sangat luas, perspektif neo-klasikal melihatnya sebagai maksimisasi kesejahteraan yang diturunkan dari utilitas yang diperoleh dari mengkonsumsi barang dan jasa, diantaranya yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan. 

Pembangunan berkelanjutan kini telah diadopsi menjadi agenda pembangunan global yang telah disepakati Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan konsep yang disebut Sustainable Development Goals atau SDGs. 

SDGs merupakan agenda pembangunan jangka menengah 2015-2030 yang menggantikan agenda sebelumnya yakni Millenium Development Goals atau MDGs. SDGs terdiri dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan dengan 169 indikator yang meliputi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. 

Daftar Pustaka

Daly, H.E. 1990. Toward some Operational Principles of Sustainable Development. Ecological Economics. 2(1): 1-6 

Elkigton, J,. 1994. Towards the Sustainable Corporation : Win-win-win Business Strategies for Sustainable Development. Californa Management Review 36, 90-100. 

Elkigton, J,. 1997. Cannibals with Forks Tripple Bottom Line of 21 st Century Business. Stoney Crek, CT. New Society Publisher. 

Harris. J.M. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Global Development and Environment Institute. Tuft University. Medford, MA. USA. 

Meadows, D.H., Meadows, D.L., Randerrs, J., and Behrens.lll, W.W. 1972. The Limit to Groutth a Report for the Club of Rome's Project on the Predicament of Mankind. New York: Universe Books. 

UNEP. 1980. The World Conservation Strategy Living Resource Conservation. Gland Switzerland. 

WCED. 1987. Our common future. Report of the World Commission on Environment and Development. G. H. Brundtland, (Ed.). Oxford: Oxford University Press.