Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkembangan Pemerintahan Kolonial Eropa: Portugis, Belanda, Perancis, dan Inggris

Daftar Isi [Tampilkan]


 Abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, Indonesia sudah dikuasai pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dijalankan adalah sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Kekuasaan tertinggi dipegang dan diatur oleh pemerintahan Kerajaan Belanda. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu pemerintahan Hindia Belanda banyak menggunakan jasa pihak pribumi.

Dalam pelaksanaan struktur pemerintahan dari atas ke bawah, Belanda membentuk bentuk pemerintahan, yaitu :

  1. Pemerintahan zelfbestuur, yaitu kerajaan yang berada di luar struktur pemerintahan kolonial
  2. Pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang Belanda di dalam negara jajahan disebut dengan Binenland Bestuur (BB), antara lain Gubernur Jendral, Residen, Asisten Residen, dan Controleur
  3. Pemerintahan yang dipegang oleh kaum pribumi yang dinamakan dengan Pangreh Praja (PP). Pejabat yang duduk dalam PP adalah Bupati, Patih, Wedana, dan Asisten Wedana

Berikut ini perkembangan pemerintahan Kolonial Eropa di Indonesia pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20.

Pemerintahan Portugis

Bangsa Portugis yang datang ke Indonesia dipimpin oleh Alfonso d’ Albuquerque. Ia pada tahun 1511 berhasil menguasai Kerajaan Malaka. Kekuasaan Portugis mengalami perkembangan yang pesat setelah menguasai Malaka. Malaka selanjutnya memperluas kekuasaan ke daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Selain itu orang Portugis biasanya mampu berbaur dengan masyarakat setempat seperti menikahi perempuan pribumi. Ketika terjadi perselisihan di Maluku antara Hitu dan Seram, Portugis memihak Hitu sehingga Portugis diterima disana.

Cara yang dilakukan Portugis di Hitu juga diterapkan ketika datang ke Ternate, mereka diterima baik oleh kerajaan Ternate untuk menghadapi Tidore. Ketika berhasil mengalahkan Tidore yang dibantu pihak Spanyol, Portugis meminta imbalan untuk memonopoli percadangan cengkeh.

Keadaan itu menyebabkan rakyat Ternate tidak menyukai orang-orang Portugis. Mereka berusaha untuk membebaskan diri dari kekuasaan Portugis.

Pada tahun 1512, tibalah orang-orang Spanyol di Maluku. Tujuan kedatangan mereka sama halnya dengan orang-orang Portugis, yaitu memonopoli dan menguasai daerah sebagai tanah jajahan, serta untuk menyebarkan agama Nasrani (Nasrani Katolik).

Di Maluku, Spanyol seinggah di Tidore, Bacan, dan Jailolo. Di tempat itu disambut baik oleh penduduk setempat. Kedatangan orang-orang Spanyol di Maluku ternyata menimbulkan persaingan dengan orang-orang Portugis.

Untuk mengakhiri persaingan antara Spanyol dan Portugis, ditandatanganilah Perjanjian Saragosa pada tahun 1535. Dalam perjanjian Saragosa diputuskan bahwa wilayah kekuasaan Portugis tetap di Maluku, sedangkan wilayah kekuasaan Spanyol di Filipina, sehingga orang-orang Portugis bebas mengembangkan kekuasaannya di Maluku.

Setelah menguasai Maluku, Portugis selanjutnya ingin menguasai daerah-daerah lain di kepulauan Indonesia, seperti :

1) Sumatera

Di Sumatera orang-orang Portugis tidak memperoleh hak monopoli perdagangan lada, karena ditentang oleh Kerajaan Aceh. Bahkan mereka tidak diberi kesempatan berdagang.

2) Jawa

Di Jawa, orang-orang Portugis hanya bisa berdagang di Pasuruan dan Blambangan karena sebagian daerah lain di Jawa telah dikuasai kerajaan Demak yang menjadi saingan berat Portugis.

Bagi Demak dan kerajaan Islam lainnya di Indonesia, jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 merupakan ancaman langsung bagi perkembangan perdagangan Islam serta penyebaran agama itu sendiri karena Portugis membawa misi gospel (penyebaran katolik)

3) Daerah lain di Indonesia

Di daerah lainnya di Indonesia, kedudukan Portugis di tempat-tempat yang telah dikuasainya mulai melemah. Hal ini disebabkan oleh adanya perlawanan rakyat setempat, antara lain perlawanan rakyat Ternate pada tahun 1533, perlawanan rakyat Hitu di Ambon, dan perlawanan rakyat Tidore. 

Dengan demikian, usaha Portugis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di perairan Indonesia mengalami kegagalan. Portugis hanya dapat menetap di Timor Timur sampai tahun 1976. Tahun 1976 Timor Timur masuk wilayah Indonesia.

Pemerintahan Belanda (VOC)

Tujuan awal kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia adalah untuk berdagang dan mencari keuntungan dari berdagang rempah-rempah. Sejak Lisabon dikuasai Spanyol, Belanda tidak dapat lagi membeli dan menyalurkan rempah-rempah ke negerinya ataupun ke negara Eropa lainnya. 

Hal itu disebabkan Belanda bermusuhan dengan Spanyol yang telah berhasil menguasai Portugis sehingga Belanda tidak dapat lagi mengambil rempah-rempah di Lisabon. Oleh sebab itu, para pedagang Belanda berusaha mencari sendiri daerah penghasil rempah-rempah ke timur.

Penjelajahan Belanda pertama dimulai pada tahun 1595 setelah empat buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman berangkat dari Amsterdam. Mereka sampai di pelabuhan Banten pada tanggal 22 Juni 1596.

Selanjutnya pelayaran yang kedua dipimpin oleh Jacob van Neck, yang tiba dipelabuhan Banten pada tahun 1598. Sikap bangsa Belanda tidak lagi kasar dan sombong sehingga mereka diterima dengan baik oleh kerajaan Banten. Lagi pula, kerajaan Banten sedang berselisih dengan orang-orang Portugis. Di Banten mereka mendapatkan lada.

Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Tuban dan Maluku. Di tempat itu pun mereka diterima dengan baik oleh raja dan masyarakat setempat.

Keberhasilan mereka membawa rempah-rempah dari kepulauan Indonesia mendorong kapal-kapal dagang Belanda lainnya datang ke Indonesia. Terjadilah persaingan dagang antara pedagang Belanda dan pedagang Eropa lainnya di Indonesia.

Selanjutnya untuk menguasai perdagangan dan memenangkan persaingan dengan orang-orang Eropa, para pedagang Belanda mendirikan serikat dagang yang disebut VOC pada tahun 1602. VOC atau singkatan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur.

Kemudian, diangkatlah seorang pimpinan berpangkat gubernur jenderal untuk memperlancar kegiatannya. Gubernur jenderal pertama VOC adalah Pieter Both.

Beberapa hak istimewa disebut hak octrooi yang diberikan Pemerintahan Belanda kepada VOC, antara lain :

  1. Hak monopoli perdagangan
  2. Hak memiliki tentara sendiri
  3. Hak menguasai dan mengikat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di daerah yang dikuasai
  4. Hak untuk mencetak dan mengeluarkan uang sendiri
  5. Hak mengumumkan perang dagang negara lain
  6. Hak memungut pajak
  7. Hak mengadakan pemerintahan sendiri

Usaha pertama VOC untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia adalah dengan menguasai salah satu pelabuhan penting yang akan dijadikan pusat kegiatan VOC.

Pada tahun 1619, VOC berhasul merebut kota Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Dari Batavia, VOC dapat mengawasi daerah-daerah lainnya.

Selain itu, untuk menguasai kerajaan-kerajaan lain, VOC menjalankan politik devide et impera (memecah belah) dan menguasai antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya. VOC juga ikut campur dalam urusan pemerintahan kerajaan di Indonesia.

Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC memaksakan hak monopolinya. VOC juga melaksanakan Pelayaran Hongi, yaitu melakukan patroli dengan perahu kora-kora yang dilengkapi senjata untuk mengawasi pelayaran dan perdagangan di Maluku.

Para petani yang melanggar peraturan monopoli diberi hukuman ekstirpasi, yaitu pemusnahan tanaman rempah-rempah. Akibatnya banyak kerajaan di Indonesia mengalami kehancuran dan kehidupan rakyat menderita.

Setelah berkuasa selama kurang dari dua abad (1602-1799), akhirnya VOC mengalami kehancuran. Hal tersebut disebabkan :

  1. Banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi
  2. Daerah kekuasaan VOC yang semakin luas sehingga memerlukan biaya pengelolaan yang lebih tinggi
  3. VOC banyak mengeluarkan biaya perang yang besar dalam menghadapi perlawanan rakyat Indonesia
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, VOC berupaya lebih memeras rakyat Indonesia dengan menerapkan beberapa peraturan baru, seperti Verplichte Leveranties dan Contingenten

Verplichte Leveranties adalah peraturan yang mewajibkan rakyat menjual hasil pertanian kepada VOC dengan standar harga ditentukan VOC yang nilainya amat rendah. Adapun Contingenten adalah penyerahan hasil pertanian dan perkebunan kepada VOC dari daerah-daerah yang tanahnya berada dalam kekuasaan VOC secara langsung.

Dengan kedua peraturan tersebut, mereka dengan mudah dapat memperoleh lada, beras, kapas, kayu, dan barang lainnya seperti gula, ternak, dan ikan.

Peraturan lainnya yang diberlakukan VOC adalah aturan preanger stelsel (sistem wajib tanam kopi di daerah Priangan), yang bertujuan mendapatkan kopi sebanyak-banyaknya dengan harga semurah-murahnya. Namun upaya-upaya tersebut tidak dapat memperbaiki kondisi ekonomi VOC.

Sementara di Belanda pada tahun 1795 terjadi revolusi yang dikendalikan oleh Perancis yang menyebabkan terjadinya perubahan pemerintahan. Dalam revolusi tersebut, raja Belanda berhasil digulingkan.

Belanda berubah menjadi republik dengan nama Republik Bataaf yang berada di bawah kekuasaan Perancis. Selanjutnya Pemerintahan Republik Bataaf membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799.

Pemerintahan Perancis

Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon dari Perancis yang telah diangkat sebagai Raja Belanda, pada tahun 1808 mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Indonesia, khususnya pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris.

Untuk keperluan tersebut, Daendels membangun jalan raya dari Anyar sampai ke Panarukan yang panjangnya lebih kurang 1.100 km, dan membangun pangkalan armada di Ujungkulon.

Agar pembangunan berjalan cepat dan murah, Daendels menerapkan rodi atau sistem kerja paksa. Rakyat dipaksa bekerja keras tanpa istirahat dan makanan yang cukup, serta tanpa upah. Daendels juga tidak memperhatikan kesehatan pekerja sehingga banyak pekerja yang meninggal dunia, akibat kelaparan dan kesehatan yang buruk.

Untuk membiayai pertahanan menghadapi Inggris, Daendels kembali memaksa rakyat Priangan menanam kopi yang hasilnya diserahkan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, Belanda menjual tanah rakyat yang oleh mereka dianggap milik negara kepada perusahaan swasta asing.

Dalam menjalankan pemerintahannya Daendels berlaku keras dan disiplin, serta cenderung bertangan besi. Sikapnya ini menimbulkan rasa tidak senang di kalangan pejabat Belanda lainnya. Akibatnya para pejabat melaporkan kekurangan-kekurangan Daendels kepada Raja Louis, terutama mengenai kebijaksanaannya menjual tanah negara kepada pihak swasta asing.

Pada tahun 1811, Daendels dipanggil pulang dan kedudukannya diganti oleh Gubernur Jenderal Janssens. Ia kurang cakap dan lemah, sehingga langsung menyerah ketika Hindia Belanda diserang Inggris.

Janssens menandatangani perjanjian yang menyatakan penyerahan kekuasaan Belanda atas Indonesia kepada Inggris. Perjanjian itu dilakukan di Tuntang dekat Salatiga sehingga dikenal dengan nama “Perjanjian Tuntang.

Pemerintahan Inggris

Pemerintahan Inggris atas Indonesia sebenarnya sudah dimulai ketika pada tahun 1579 penjelajah Francis Drake singgah di Ternate, Maluku. Untuk mengadakan hubungan dagang dengan kepulauan rempah-rempah di Asia, Inggris membentuk EIC (East Indies Company).

Pada tahun 1602 armadanya sampai di Banten dan mendirikan loji di sana. Pada tahun 1604, dibuka perdagangan dengan Ambon dan Banda. Pada tahun 1609, Inggris mendirikan pos di Sukadana (Kalimantan). Pada tahun 1613, Inggris berdagang dengan Makasar, dan pada tahun 1614, Inggris mendirikan loji di Batavia.

Dalam usaha perdagangan itu Inggris mendapat perlawanan kuat dari Belanda, Belanda tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengusir Inggris dari Indonesia. Setelah terjadi peristiwa Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari Indonesia. 

Tetapi, di daerah Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei, Inggris memperoleh kesuksesan. Namun, setelah diadakan Persetujuan Tuntang pada tahun 1811, Indonesia berada di bawah kekuasaan Inggris. Ia memegang pemerintahan selama lima tahun (1811-1816).

Sebagai kepala pemerintahan di Indonesia, Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal. Pemerintahan Raffles ini sekaligus untuk mewakili Lord Minto, Gubernur EIC di India. Pada masa pemerintahannya, Raffles menjalankan kebijakan-kebijakan sebagai berikut.

  1. Jenis penyerahan wajib pajak dan rodi harus dihapuskan kecuali di Priangan (Prianger Stelsel) dan Jawa Tengah
  2. Rakyat diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman tanpa unsur paksaan
  3. Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan, dan penggantinya diangkat menjadi pegawai pemerintah
  4. Pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan petani sebagai penggarap (penyewa) milik pemerintah

Pemerintahan Raffles beranggapan bahwa semua tanah adalah milik negara sehingga petani dianggap sebagai penyewa tanah negara. Mereka harus membayar pajak kepada Pemerintahan Inggris sebagai ganti uang sewa. Sistem yang diterapkan Raffles ini dikenal dengan sistem Landrente atau pajak bumi.

Pada tahun 1813 terjadi perang Leipzig. Inggris dan sekutunya melawan Perancis, dan dimenangkan oleh Inggris. Kekuasaan Kaisar Napoleon di Perancis jatuh pada tahun 1814. Dengan demikian, berakhir pemerintahan Louis Napoleon di Negeri Belanda.

Karena Belanda telah bebas dari kekuasaan Perancis, Inggris mengadakan perdamaian dengan Belanda di Kota London. Perundingan damai ini menghasilkan persetujuan yang disebut Konvensi London atau perjanjian London (1814).

Isi perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa semua daerah di Indonesia yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan lagi oleh Inggris kepada Belanda, kecuali daerah Bangka, Belitung, dan Bengkulu.

Penyerahan daerah kekuasaan di antara kedua negeri itu dilaksanakan pada tahun 1816. Akhirnya mulai tahun 1816, perjanjian Hindia Belanda kembali berkuasa di Indonesia.

Pemerintahan Belanda Abad ke-19 sampai ke-20

Pada abad ke-19 ini, tepatnya setelah Belanda kembali menduduki Indonesia sesuai dengan Perjanjian London (1814), pemerintahan Kolonial Belanda menerapkan dua kebijakan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua kebijakan itu adalah sistem tanam paksa dan UU Agraria 1870.

1) Sistem Tanam Paksa

Selama periode antara tahun 1816-1830, pemerintahan Hindia Belanda mengalami kesulitan keuangan. Di bawah Gubernur Jenderal Van de Bosch, pemerintahan Hindia Belanda berusaha menutupi kesulitan keuangan ini dengan memberlakukan Cultur Stelsel (Tanam Paksa).

Adapun peraturan Tanam Paksa tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Setiap desa diharuskan menanam 1/5 dari tanahnya dengan tanaman seperti kopi, gula, tembakau, dan nila
  2. Hasil tanaman itu harus dijual pada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan
  3. Tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan dari pajak bumi
  4. Kegagalan panen akan menjadi tanggung jawab pemerintah
  5. Mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari/tahun di perkebunan milik pemerintah

Dengan ketentuan tersebut, sistem tanam paksa banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda. Hal itu terlihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832-1867 diperkirakan mencapai angka 967 juta Gulden.

Sehingga kas negara segera terisi kembali, bahkan utang luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya dapat digunakan untuk modal usaha-usaha industri di Belanda. Akibat tanam paksa, timbullah reaksi rakyat Indonesia menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.

Pada tahun 1833, terjadilah huru-hara di perkebunan tebu di daerah Pasuruan. Pada tahun 1848 terjadi pembakaran kebun tembakau seluas 7 hektar di Jawa Tengah.

Reaksi lain terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa juga muncul di negeri Belanda. Reaksi itu datang dari golongan humanis, yaitu orang-orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dari perikemanusiaan, seperti Douwes Dekker (Multatuli) dalam bukunya Max Havelaar, secara terang-terangan mengecam penyimpangan tanam paksa dan penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda dan penguasa setempat.

Baron van Houvel sebagai pendeta melaporkan penderitaan rakyat Indonesia dalam sidang perkebunan di Negeri Belanda.

Sejak saat itu banyak orang Belanda yang menantang tanam paksa, terutama anggota parlemen dari golongan liberal. Atas desakan parlemen, pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, dan sebagai gantinya dikeluarkanlah Undang Undang Agraria dan Undang Undang Gula pada tahun 1870.

2) Undang Undang Agraria tahun 1870

Mulai tahun 1870 Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan politik liberal yang dikenal dengan sebutan politik pintu terbuka. Dengan politik pintu terbuka ini pihak swasta asing terutama pengusaha Eropa, mendapat kesempatan membuka usaha di Indonesia.

Bidang usaha yang dikelola oleh pihak swasta antara lain : perkebunan kopi, tembakau, teh, kina, dan gula.

Untuk membuka perkebunan diperlukan lahan yang luas maka diperlulah disusun undang-undang yang mengatur sewa menyewa tanah, kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan Undang Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870.

Ketentuan UU Agraria 1870, antara lain menyebutkan :

  1. Pengusaha dapat menyewa tanah dari pemerintah untuk masa 75 tahun
  2. Penduduk pribumi dijamin hak-hak miliknya atas tanah menurut hukum adat
  3. Gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjual sawah

Dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870, muncullah perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia, seperti perkebunan kina dan teh di Jawa Barat, perkebunan tebu di Jawa Timur, dan perkebunan tembakau dan karet di Sumatera Timur.

Pemilik perkebunan perkebunan swasta itu tidak hanya milik orang-orang Belanda, tetapi ada milik bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis, dan Belgia.

Pada pelaksanaannya, undang undang tersebut tidak mengubah taraf hidup rakyat Indonesia tetapi menimbulkan berbagai akibat seperti industri kerajinan rakyat kalah bersaing dengan hasil produksi swasta.

Tenaga rakyat (buruh) diperas secara paksa oleh para pengusaha swasta, mereka diikat dengan kontrak sehingga tidak dapat melepaskan pekerjaannya. Jika mereka melarikan diri akan mendapat hukuman.

Selain membawa dampak negatif, UU Agraria ini membawa dampak positif, terutama masyarakat Indonesia mulai mengenal mata uang. Ada di antara buruh perkebunan yang mendapatkan upah (uang) sebagai bayarannya.

Melihat realisasi UU Agraria 1870 yang tidak mampu memperbaiki nasib rakyat dari keadaan sebelumnya, beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker, dan van Deventer mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda agar memperhatikan nasib rakyat Indonesia.

Akhirnya, melalui usulan dan kritikan tersebut muncullah Etische Politik atau Politik Etis yang diprakarsai oleh van Deventer.