Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAKALAH PENGARUH ERUPSI TERHADAP KESUBURAN TANAH

Daftar Isi [Tampilkan]

MAKALAH PENGARUH ERUPSI TERHADAP KESUBURAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia adalah salah satu wilayah yang banyak gunung berapinya karena permukaan daratan Indonesia sangat bervariasi, dan Indonesia juga menempati dua lapisan lempeng benua yang berbeda yaitu lempeng Benua Asia dan lempeng Benua Australia serta Indonesia menempati jalur pertemuan lempeng dunia  sehingga banyak menghasilkan rangkaian gunung berapi.

Dibalik hal itu ada fenomena gunung berapi yang sangat unik. Aktifitas gunung berapi dapat merugikan dan menguntungkan. Kerugian yang dapat ditimbulkan antara lain hancurnya daerah pemungkiman, pertanian, hutan, bahkan dapat merenggut jiwa yang diakibatkan lava dan elvata dengan suhu tinggi yang dikeluarkan gunung berapi saat erupsi, awan panas dan debu vulkanik yang menyebabkan polusi udara dan lain sebagainya.

Keuntungan yang dapat ditimbulkan adalah salah satunya material gunung berapi yang dikeluarkan saat erupsi kaya akan mineral penyubur tanah. Setelah mengalami proses pelapukan secara sempurna, bahan tersebut menjadi tanah vulkanis yang subur. Tanah vulkanik terbentuk dari material-material gunung api seperti pasir dan debu vulkanis. Material vulkanis tersebut mengalami pelapukan dan membentuk tanah vulkanis yang sangat subur karena banyak mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Utoyo,2007).

Berbagai hasil penelitian yang dilakukan debu vulkanik yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi dapat meningkatkan aktivitas organisme tanah, banyaknya mikroorganisme yang ada dalam tanah juga seemakin mempengaruhi tinggi kessuburan tanah, hal ini memberikan pandangan akan pentingnya mengetahui dampak erupsi bagi kesuburan tanah, agar dapat memanfaatkanya dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimana kondisi dan sifat-sifat tanah pasca erupsi?
  2. Bagaimana aktivitas mikroorganisme dalam tanah pasca erupsi?
  3. Bagaimana dampak dan pemulihan lahan pasca erupsi?

1.3 Tujuan

  1. Mengetahui kondisi dan sifat-sifat tanah pasca erupsi.
  2. Mengetahui aktivitas mikroorganisme dalam tanah pasca erupsi.
  3. Mengetahui dampak dan cara pemulihan lahan pasca erupsi.

1.4 Manfaat

  1. Dapat mengetahui kondisi dan sifat-sifat tanah pasca erupsi.
  2. Dapat mengetahui aktivitas mikroorganisme dalam tanah pasca erupsi.
  3. Dapat mengetahui dampak dan cara pemulihan lahan pasca erupsi

BAB II ISI

2. 1 Pengertian Erupsi

Pengertian Erupsi gunung berapi terjadi karena adanya pergerakan atau aktivitas dari magma dari dalam perut bumi yang berusaha keluar ke permukaan bumi. Secara umum proses erupsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu erupsi eksplosif dan efusif. Berikut pembahasannya:
  1. Erupsi secara Eksplosif – Erupsi eksplosif adalah proses keluarnya magma dan material lain dari dalam perut bumi yang disertai dengan tekanan yang kuat sehingga terkadang menimbulkan suara letusan atau dentuman yang cukup keras. Pada umumnya erupsi ini dikenal sebagai letusan gunung berapi. Adapun contoh dari erupsi eksplosif antara lain adalah erupsi gunung Krakatau.
  2. Erupsi secara Efusif – Erupsi efusif adalah proses keluarnya magma yang berbentuk lelehan lava. Erupsi ini terjadi akibat adanya tekanan gas yang tidak begitu kuat sehingga magma kental dan lava pijar tumpah dan kemudian mengalir ke lereng puncak gunung. Adapun contoh dari erupsi efusif adalah erupsi Gunung Merapi.
Proses terjadinya erupsi adalah pada umumnya erupsi terjadi karena adanya tekanan gas yang sangat kuat yang berasal dari dalam perut bumi yang secara terus menerus berusaha mendorong magma untuk keluar. Tekanan gas tersebut nantinya perlahan akan membuat magma akan bergerak naik ke atas secara perlahan, hal ini terjadi karena massa magma lebih ringan dibandingankan dengan batuan padat disekitarnya.

Dalam proses tersebut, magma yang memiliki suhu sekitar 1200 derajat Celcius ini perlahan lahan akan melelehkan batuan yang berada disekitarnya dan kemudian terjadi penumpukan magma dalam gunung tersebut. Dari sinilah tekanan yang berasal dari dalam bumi akan semakin besar, hal ini terjadi karena magma tadi terhambat oleh lapisan batuan padat/litosfer yang sangat sulit untuk ditembus. Karena adanya tekanan yang sangat kuat pada daerah ini, maka di tempat inilah tersimpan tenaga yang sangat kuat sehingga lapisan batuan disekitarnya perlahan lahan menjadi rapuh dan retak, dari celah retakan inilah nantinya magma akan menjalar keluar ke permukaan bumi (BNPB, 2010).

2. 2 Kondisi dan Sifat-sifat Tanah Pasca Erupsi

2.3.1 Sifat Fisik Tanah

Contoh tanah yang diambil menggunakan ring sampel diameter ± 8 cm dan tinggi ±4 cm pada areal yang terkena dampak abu setebal 5-29 cm dianalisis sifat fisiknya. Hasil analisis menunjukkan berat volume (BD), ruang pori total, pori aerasi, air tersedia dan permebilitas tanah relatif tidak berbeda pada setia lapisan. Keadaan ini menunjukkan bahwa abu yang dilontarkan oleh erupsi gunung berapi dengan kadar air yang tinggi mampu meresap dan berpengaruh pada lapisan di bawahnya.

Abu material erupsi memiliki sifat fisik yang khas, apabila jatuh ke  permukaan tanah cepat mengeras dan sulit ditembus air baik dari atas maupun dari bawah permukaan tanah. Hal ini yang menyebabkan berat volume tanah cukup tinggi. Ruang pori pada lapisan tanah yang mengandung banyak abu memiliki kondisi yang baik, hal yang sama juga terjadi pada aerasi tanah dan air tersedia. Abu material erupsi memiliki kadar air yang cukup tinggi. Pada lapisan bawah, kandungan air cukup tinggi, namun karena lapisan atasnya cukup keras maka air tidak dapat keluar melalui penguapan. Salah satu cara untuk menanggulangi masalah ini adalah dengan menghancurkannya melalui pengolahan tanah. Hasil analisis data ada yang menunjukkan bahwa tanah di lereng atas memiliki sifat fisik yang  lebih baik dibandingkan dengan lereng tengah dan bawah (Deddy, dkk, 2018).

2.3.2 Sifat Kimia

Dari data pengamatan yang pernah dilakukan tanah pada lereng atas dan tengah bereaksi agak masam dengan pH 5.60–5.77, sedangkan pada lereng bawah bersifat masam sampai sangat masam dengan pH 3.36-5.48. Kadar C-organik pada lereng atas, tengah, dan bawah tergolong rendah sampai sangat rendah (0.91-1.82%). Kadar N-organik juga termasuk rendah sampai sangat rendah (0.09-0.13%). Pada lereng atas, tengah, dan bawah, tanah umumnya mengandung P2O5 tinggi sampai sangat tinggi (7.511-62.49 mg/kg), K2O rendah sampai sangat rendah (8-14 mg/100 g), KTK sangat rendah (2.29-5.13 cmol(+)/kg), dan KB tinggi sampai sangat tinggi (72-87%), kecuali di lereng bawah pada kedalaman 10-20 cm sebesar 58% (sedang). Dari pengamatan tersebut terlihat pengolahan tanah dalam sangat diperlukan untuk memudahkan ketersediaan hara bagi tanaman. Di samping itu, dinamika sifat kimia tanah nampaknya bersifat sementara karena proses interaksi fisika-kimia tanah masih berlangsung. Proses hidrolisis oleh air hujan akan memacu perubahan sifat-sifat tanah secara keseluruhan (Deddy, dkk, 2018).

1.3 Aktivitas Mikroorganisme Tanah Pasca Erupsi

1.3.1 Karakteristik Sifat Kimia Tanah Bekas Erupsi

Sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 0 - 5 cm merupakan debu vulkanik, sedangkan sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm merupakan tanah yang berada dilapisan bawahnya yaitu tanah yang bercampur dengan debu vulkanik.

Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat bahwa pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm memiliki kriteria pH yang masam, dengan KTK yang rendah dan C-Organik yang sangat rendah. Sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm memiliki kriteria pH yang sangat masam, dengan KTK yang sedang dan C-Organik yang tinggi, sedangkan pada sampel tanah yang tidak terkena debu vulkanik (kontrol) memiliki kriteria pH yang masam, dengan KTK yang sangat rendah dan C-Organik yang sangat tinggi (Puput, dkk, 2015).

1.3.2 Aktivitas Mikroorganisme Tanah 

Parameter yang diamati dalam aktivitas mikroorganisme tanah adalah jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah. respirasi mikroorganisme pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm adalah 0,96 kg/hari. Respirasi mikroorganisme pada tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm adalah 1,16 kg/hari. Respirasi mikroorganisme pada tanah yang tidak terkena debu vulkanik adalah 1,52 kg/hari. 

Respirasi mikroorganisme tanah tertinggi adalah pada sampel tanah yang tidak terkena debu vulkanik, sementara respirasi mikroorganisme tanah terendah adalah pada sampel yang terkena debu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm. Hal itu disebabkan jumlah C-Organik pada sampel tanah yang tidak terkena debu vulkanik adalah yang tertinggi jika dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena debu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm. Semakin tinggi kandungan C-Organik dalam tanah maka makin tinggi pula aktivitas mikroorganisme yang ada didalam tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanafiah et al (2009) bahwa aktivitas mikroorganisme yang tinggi berhubungan dengan banyaknya populasi mikroorganisme dan bahan organik sebagai sumber energi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas. 

Pada sampel tanah yang terkena erupsi dengan kedalaman 0-5 cm memiliki pH yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm, namun kandungan C-organik pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm lebih rendah jika dibandingkan dengan tanah yang terkena debu vulkanik pada kedalaman 5-20 cm. Hal itu disebabkan curah hujan yang tinggi pada daerah tersebut sehingga hara tercuci ke bagian tanah yang lebih dalam. Unsur S yang tercuci membuat lapisan tanah pada bagian bawah menjadi lebih masam, namun C-organik yang ikut tercuci membuat kandungan C-Organik pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm lebih banyak di bandingkan dengan sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm. Hal itulah yang diduga membuat pH tidak mempengaruhi aktivitas mikroorganisme pada tanah yang terkena debu vulkanik. 

Aktivitas mikroorganisme pada tanah yang tidak tekena debu vulkanik lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah yang terkena debu vulkanik, hal ini disebabkan pH dan C-Organik yang juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan pH dan C-Organik pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik, karena semakin rendah pH maka aktivitas mikroorganisme di dalam tanah juga akan semakin sedikit.

Jumlah mikroorganisme terendah terdapat pada sampel tanah yang terkena erupsi dengan kedalaman 5-20 cm, namun aktivitas mikroorganisme terendah terdapat pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm. Hal itu diduga karena sampel tanah dengan kedalaman 0-5 cm memiliki pH yang lebih tinggi namun memiliki kandungan C-Organik yang rendah, pH yang tinggi membuat jumlah mikroorganisme menjadi lebih banyak namun dengan kondisi C-Organik yang digunakan sebagai sumber energi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas yang rendah maka membuat aktivitas mikroorganisme pada tanah tersebut menjadi lebih rendah. 

Terkait dengan kesuburan, tanah yang tidak terkena debu vulkanik lebih subur jika dibandingkan dengan tanah yang terkena debu vulkanik, itu disebabkan baik jumlah maupun aktivitas mikroorganisme yang ada pada tanah yang tidak terkena debu vulkanik merupakan yang tertinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwaningsih (2005) bahwa kesuburan tanah juga dapat diprediksi dari jumlah populasi mikroba yang hidup di dalamnya. Tingginya jumlah mikroba merupakan pertanda tingginya tingkat kesuburan tanah (Puput, dkk, 2015).

1.4 Dampak Dan Pemulihan Lahan Pasca Erupsi

Penggunaan lahan dimaknai sebagai suatu macam intervensi manusia terhadap lahan baik secara permanen maupun siklus untuk memenuhi kebutuhan dan atau kepuasan manusia. Dengan demikian maka penggunaan lahan menyebabkan manusia mengontrol ekosistem alamiah dengan cara yang relative sistematik bermaksud mendapatkan keuntungan dari lahan itu. Dari definisi lahan diatas maka kerusakan sumber daya lahan pertanian dan upaya pemulihan dampak erupsi gunung Merapai dapat dilakukan dengan rincian aspek definitif lahan yakni:

1. Hilangnya beberapa atau banyak plasma nutfah dan berubahnya biodiversitas tumbuhan

Beragam tanaman terkena dampak yang bervariasi dari letusan gunung berapi. Ada tanaman yang tidak dilalui oleh asap erupsi (wedhus gembel) sehingga tidak mengalami kerusaka sementara daerah sekitarnya yang dilalui oleh awan panas mengalami kerusakan. Keragaman hayati lokal sering rusak akibat erupsi, namun demikian keragaman local dapat ditigkatkan dengan ameliorant dan penanaman tumbuhan pionir yang dapat membantu tumbuhnya spesies tumbuhan lain. Penanaman tumbuhan secara kolonis akan meningkatkan kondisi habitat alamiah. Meskipin demikian recovery secara koloni yang dominan akan mengubah biodiversity dengan perubahan jenis tanaman dari semula  dan keragaman yang semakin rendah. Ekosistem member tanggapan atas letusan gunung api secara bervariasi tergantung dari tipe, skala, keseringan dan tingkat merusaknya kejadian erupsi, terpengaruhnya vegetasi alami dan factor lain. Pengaruh kejadian erupsi dengan material piroklastik dan juga tephra tergantung dari intensitas, skala dan kerusakan biota. Hutan secara umum lebih tahan dari erupsi dibandingkan dengan padang  rumput atau lahan-lahan pertanian, yang disebabkan diversitas yang tinggi pada hutan memungkinkan beberapa individu tumbuhan bisa survive. Upaya pemulihan lahan dapat dipercepat dengan penyebaran biji benih tumbuhan yang cepat tumbuh seperti lamtoro gunung, dan juga penanaman tumbuhan yang lebih berumur. Penanaman secara campur berbagai macam tanaman akan  lebih baik dan saling mendukung biodiversitas, meskipun perkembangan selanjutnya secara alamiah tidak akan sama dengan kondisi biodiversitas sebelum erupsi.

2. Hilangnya daerah tangkapan air, rusaknya hutan, dan bahkan tertutupnya sumber air, serta hilangnya saluran-saluran air.

Kehilangan sumber mata air oleh tutupan material vulkanik dapat mengakibatkan berubahnya pola pengairan. Kerusakan sumber air dan juga saluran air adalah disebabkan oleh erupsi berupa hilangnya atau pindahnya mata air, pendangkalan sungai oleh material. Pendangkalan sungai (kali) dapat mengakibatkan bahaya lahar dingin bagi perkampungan di sepanjang bantaran hulu sungai menjadi lebih besar. Kerusakan hutan akibat erupsi gunung berapi dapat menyebabkan turunnya fungsi daerah tangkapan air, yang tentu akan menyebabkan masalah pada keberlangsungan mata air. Penghutanan kembali dengan penanaman pohon terutama pada kawasan gunung berapi, merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan fungsi kawasan tangkapan air. Penghutanan kembali dapat dilakukan dengan penanaman pohon yang memiliki adaptasi tinggi terhadap   lahan pasir seperti pinus, akasia dan eucalypstus. Pengembalian fungsi tangkapan air juga seiring dengan mengurangi resiko erosi tanah. Idjudin dkk (2010) melaporkan bahwa teknik konservasi vegetative berupa lajur rumput raja, guatemala, dan rumput gajah, serta Flemingia congesta terhadap perbaikan produktivitas lahan endapan vulkanik cukup efektif menurunkan erosi tanah di bawah ambang batas erosi terbolehkan. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pengontrolan erosi dengan penanaman pohon dan penebaran benih merupakan cara pemulihan lahan yang dilakukan di Jepang dan USA pada gunung Usu dan gunung St Helens, yakni  penebaran benih tanaman alami di insitu Namun komposisi hutan pulihan tidak sama dengan diversitas alami.

3. Terkuburnya tanah dan terham- batnya pembentukan tanah akibat erupsi yang berulang-ulang pada gunung berapi.

Secara umum pada gunung berapi, toposekuen sepanjang lereng gunung berpengaruh terhadap cuaca, pelapukan dan pembentukan mineral. Iklim dan cuaca merupakan factor yang penting dalam menentukan terbentuknya tanah secara altitudinal. Pada elevasi  yang lebih tinggi, tingginya curah hujan dan rendahnya evapotranspirasi (ET) akibat pengaruh dari rendahnya suhu dan tingginya kelembaban, akan menghasilkan leaching yeng lebih tinggi dan periode kering yang lebih pendek. Lingkungan yang demikain dapat membentuk tanah andik yang ditandai dengan tingginya kandungan aluminol masif dan retensi pospat yang kuat serta kandungan komplek Al-humus. Pada elevasi yang lebih rendah, jika pelindian berkurang maka sifat andik tanah berkurang dan kandungan bahan organic berkurang akibat dekomposisi yang agak intensif karena suhu lebih tinggi. Skema pelapukan pada abu riolitik adalah pembentukan haloysit jika kondisi curah hujan berkisar 1500 mm/th, namun jika curah hujan lebih tinggi maka akan terbentuk alofan . Pembentukan material non kristalin (Al dan Fe-Aktif) dan akumulasi bahan organic merupakan proses pedogenesis yang dominan pada tanah yang terbentuk dari material vulkanik .

Hal ini menyulitkan usaha reklamasi lahan terkena erupsi karena ancaman kerusakan kembali lahan yang telah dipulihkan. Erupsi yang berulang terjadi menyebabkan juga tidak berjalannya proses terbentuknya tanah karena terjadi pembaharuan material penutup lahan. Faktor pembentuk tanah seperti bahan induk, organisme, iklim dan togografi menjadi tidak bekerja dalam pembentukan tanah akibat erupsi yang terus menerus. Namun demikian dalam jangka waktu yang tidak panjang, maka pembentukan tanah entisol pada lahan erupsi gunung berapi dimungkinkan jika tidak mengalami penutupan kembali oleh lahar dingin baru pada erupsi selanjutnya. Sebab, besaran erupsi gunung berapi yang tidak selalu sama dan juga jangkauan kerusakan lahan akibat erupsi dan banjir lahar dingin tidak sama. Merskipun tidak selalu sama tiap erupsi dalam hal jangkauan dampak atau banyaknya material, namun membutuhkan antisipasi yang mensiasati siklus beberapa tahunan erupsi. Bagaimanapun, material pasir yang menutupi lahan menjadi topsoil pada lahan tersebut. Penggunalan lahan pasiran untuk pertanian, perkebunan atau penghitanan kembali membutuhkan tumbuhan pionir yang adaptif yang dapat hidup baik pada kondisi tanpa naungan, seperti tumbuhan C4. Penanaman rumput zoysia natif gunung berapi lebih responsif dan dapat hidup pada media pasir tambah tambahan ameliorasi tanah, dan lebih responsif jika diberi bahan organik dibandingkan rumput perenial ryegrass yang merupakan rumput C3 (Rahayu,dkk, 2014).

Kerusakan lahan akibat erupsi sangat bervariasi, termasuk dalam hal ketebalan material volkanik yang menutupi lahan. Tutupan material volkanik yang tebal baik dari erupsi ataupun dari lahar dingin menyebabkan batas-batas kepemilikan lahan menjadi kabur dan terkadang hilang, terutama lahan di bantaran sungai. 

Perbaikan kualitas tanah merupakan nilai dari variabel-variabel yang memberikan taksiran tentang tanah sehubungan dengan perubahan kondisi tanah oleh manusia. Pengukuran kualitas tanah dilakukan secara numerik dari sifat-sifat tanah yang mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman di bawah kondisi lingkungan yang semakin baik. Kualitas tanah tidak dapat diukur secara langsung, tetapi sifat fisik, kimia, biologi tanah yang mudah berubah karena pengelolaan dapat digunakan sebagai indikator. 

Bawang daun, adalah jenis tanaman sayuran yang cepat beradaptasi dengan tanah. Tanaman umbi-umbian seperti pisang, talas, dll, yang mampu menembus lapisan abu hasil erupsi gunung berapi, karena memiliki akar tunggal, dan cocok ditanam di lahan pekarangan. Untuk lahan tegalan, tanaman yang cocok dan cepat menyesuakan diri adalah rumput pakan.

Tanaman-tanaman ini dapat tumbuh baik pada lahan tertutup abu yang banyak mengandung air. Kondisi demikian menyebabkan lahan pertanian pasca-erupsi memerlukan pengolahan tanah yang teratur. Pengolahan tanah diperlukan untuk memecah lapisan atas yang banyak mengandung air dan akan efektif apabila pengolahan tanah dilakukan sampai kedalaman lebih dari 30 cm.

Hal ini merupakan salah satu cara rehabilitasi lahan untuk memperbaiki permeabilitas dan pori aerasi tanah. Kaidah konservasi dengan pengolahan tanah harus dilakukan untuk mempercepat perbaikan lahan (Deddy,dkk, 2018) .

BAB III PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Pada awalnya setelah gunung meletus dan terjadi erupsi tanah akan menjadi keras dan sulit di tembus air, namun apabila dilakukan penanganan yang sangat tepat tanah akan subur karena lapisan bawah tanah mengandung banyak mineral dan nutrisi. Tanah bekas erupsi juga cendrung asam pengolahan tanah dalam sangat diperlukan untuk memudahkan ketersediaan hara bagi tanaman. Di samping itu, dinamika sifat kimia tanah nampaknya bersifat sementara karena proses interaksi fisika-kimia tanah masih berlangsung.

Terkait dengan kesuburan, tanah yang tidak terkena debu vulkanik lebih subur jika dibandingkan dengan tanah yang terkena debu vulkanik, itu disebabkan baik jumlah maupun aktivitas mikroorganisme yang ada pada tanah yang tidak terkena debu vulkanik merupakan yang tertinggi.

Cara pemulihan lahan pasca erupsi beragam tergantung dengan dampak yang disebabkan oleh erupsi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2010. Kawasan rawa bencana erupsi Merapi, 2010. Yogyakarta: BNPB.

Erfandi, Deddy, dkk. 2018. Kondisi Tanah dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca-Erupsi Gunung Merapi. Artikel, diakses pada 27 Maret 2020.

Hanafiah, A. S., T. Sabrina dan H. Guchi. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. Medan: Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian.

Rahayu, dkk. 2014. Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Lahan dan Upayah-upayah Pemulihannya. Cakra Tani – Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian. Vol. XXIX: 1.

Sarah, Puput, dkk. 2015. Aktivitas Mikroorganisme Pada Tanah Bekas Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Medan: Universitas Sumatra Utara.

Utoyo, B.2007 Geografi 1 Membuka Cakrawala Dunia. Jakarta: Pusat Perbukuan   Departemen Pendidikan Nasional.