Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Ijma adalah - Kedudukan, Macam, dan Rukunnya

Daftar Isi [Tampilkan]

Apa Itu Ijma?

Pengertian Ijma menurut bahasa artinya memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. Pengertian ijma yang kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang

Sedangkan dalam istilah ahli ushul Ijma adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara yang tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Quran dan Hadis.

Hal itu pernah dilakukan Abu Bakar. Apabila ditemukan suatu perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW., ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul SAW., ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah untuk menemukan solusi atas suatu masalah dan menetapkan hukumnya.

Jadi obyek ijma adalah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Qur'an dan Hadis.

Kedudukan Ijma

Setiap ijma yang ditetapkan menjadi hukum syara', harus dilakukan dan disesuaikan dengan asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. 

Bila ia berijtihad menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. 

Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al Qur'an dan Hadis, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil Itu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ ٥٩

59.  Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). (QS. An Nisa' : 59)

Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ ١٠٣

103.  Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran ; 103).

وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا ࣖ ١١٥

115.  Siapa yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An Nisa' ; 115).

Pada ayat ini Allah swt melarang untuk:

  1. Menyakiti/ menentang Rasulullah.
  2. Membelot/ menentang jalan yang disepakati kaum mu'minin.

Ayat ini dikemukakan oleh Imam Syafi'i ketika ada yang menanyakan apa dasarnya bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum. Imam Syafii menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut sehingga tiga hari, beliau mengulang-ulang hafalan Al Qur'an hingga menemukan ayat ini. Contoh Ijma: kewajiban shalat lima waktu.

Macam macam Ijma

1. Ditinjau dari segi terjadinya 

a. ljma sharih/qouli/bayani 

ljma sharih adalah para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan, seperti hukum masalah ini halal dan tidak haram.

b. Ijma sukuti/iqrari 

Ijma sukuti adalah semua atau sebagian mujtahid tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan Ijma sukuti ini: ada yang menyatakan sebagai dalil qath'i dan ada yang berpendapat sebagai dalil dzhanni.

Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah: keadaan diamnya sebagian mujtahid tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila kemungkinan adanya persetujuan: maka hal ini adalah dalil qath'i, dan apabila ada yang tidak menyetujui: maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada kemungkinan memberi persetujuan tetapi dia tidak menyatakan: maka hal ini adalah dalil dzhanni.

Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab: ulama malikiyah dan syafi'iyyah menyatakan Ijma sukuti bukan sebagai Ijma dan dalil. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijma' ini dapat dinyatakan sebagai ijma' dan dalil qath'i.

2. Ditinjau dari segi keyakinan 

  • ljma qath'i adalah hukum yang dihasilkan Ijma itu adalah sebagai dalil qath'i diyakini benar terjadinya.
  • ljma zhanni adalah hukum yang dihasilkan Ijma itu dzhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

3. Ditinjau dari Pelaku Ijtihad

Selain Ijma yang dilakukan seluruh umat, ada juga Ijma yang dilakukan oleh sekelompok umat saja. Misalnya adalah sebagai berikut:

  • Ijma sahabat adalah Ijma yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
  • Ijma khulafaur rasyidin adalah Ijma yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
  • Ijma shaikhani adalah Ijma yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
  • Ijma ahli Madinah, yaitu ijma yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki,tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
  • Ijma ulama Kufah, yaitu ijma yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Rukun Ijma

Pengertian rukun ijma’ adalah adanya kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa atas hukum syara'. Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat hal, Adapun 4 rukun ijma’ tersebut ialah:

  1. Tidak cukup Ijma dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang saja di suatu masa. Karena 'kesepakatan' dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
  2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara' dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara' hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara' kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma. Karena Ijma tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
  3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
  4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang "banyak' secara Ijma sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar'i yang pasti dan mengikat.

Apabila 4 rukun Ijma’ di atas telah terpenuhi. Maksudnya seluruh mujtahid pada masa setelah wafat Nabi SAW. Dengan masing-masing mereka mengetahui masalah yang diijmakan tersebut mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan yang bersifat mensepakatinya, maka hukum yang diijmak tersebut menjadi aturan syara' yang wajib diikuti dan tidak boleh mengingkarinya.

Selanjutnya para mujtahid tidak boleh lagi menjadikan hukum yang sudah disepakati itu menjadi garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara Ijma dengan hukum syar'i yang qath'i dan tidak dapat dihapus.

Seorang dapat disebut sebagai seorang Mujtahid apabila sekurang-kurangnya memenuhi tiga syarat sebagai berikut:

  1. Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan,
    1. Al Qur'an.
    2. Sunnah.
    3. Masalah Ijma sebelumnya.
  2. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
  3. Menguasai ilmu bahasa Arab.

Al Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al Syariah (tujuan syariat). Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al Syariah.

Terimakasih sudah membaca: Pengertian Ijma adalah - Kedudukan, Macam, dan Rukunnya