Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pembagian Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitasnya

Daftar Isi [Tampilkan]

Banyaknya orang-orang yang berdusta atas nama Nabi Muhammad dengan mengeluarkan hadis, membuat para ulama tidak mau menerima begitu saja hadis yang disampaikan. Mereka mensyaratkan sejumlah syarat agar hadis tersebut bisa diterima.

Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadis itu sendiri, sehingga dalam berhujjah dengan hadis tidaklah serta merta asal mengambil suatu hadis sebagai sumber ajaran.

Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadis adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadis. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadis sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama.

Para muhadisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadis tidak hanya mencukupkan diri pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan oleh mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadis di sela-sela mata rantai sanad tersebut.

Pembagian Hadis dari Segi Kuantitasnya

Ditinjau dari segi kuantitas (jumlah rawi), hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.

1. Hadis Mutawatir

Kata mutawatir menurut bahasa ialah mutatabi' yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah suatu hasil hadis tanggapan panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.

Artinya, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat dan kebiasaan, mustahil mereka bersepakat berbuat dusta. Hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.

Tidak dapat dikategorikan dalam hadis mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta. 

Hadis yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad saw., maka jalan penyampaian hadis itu atau orang-orang yang menyampaikan hadis itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadis tersebut.

Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadis. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. 

Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadis itu. Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

Syarat-Syarat Hadis Mutawatir

Suatu hadis dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.

1. Hadis (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.

Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadis mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.

  • Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. 
  • Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
  • Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (Q.S. al-Anfal [8]: 65). 
  • Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah pada Surat Al Anfal ayat 64.

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.

Hadis mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadis mutawatir tidak mungkin ada karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadis, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadis mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis mutawatir, seperti al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti (911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Hadisi al-Mutawatir, Susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

Macam-Macam Hadis Mutawatir

Hadis Mutawatir terbagi menjadi dua

1) Mutawatir Lafzi

Adalah hadis yang mutawatir periwayatannya dengan satu redaksi yang sama atau hadis yang mutawatir lafal dan maknanya, Ibnu Hibban mengatakan bahwa kriteria hadis mutawatir ini sangat sulit untuk ditemukan sehingga hanya sedikit sekali hadis lafzi yang akan ditemukan.

2) Mutawatir Maknawi

Hadis yang maknanya mutawatir akan tetapi lafalnya tidak. Hadis yang semakna dengan ini banyak jumlahnya bahkan dikatakan seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, Sebagai contoh hadis tentang Nabi Muhammad saw. Berdoa sambil mengangkat tangan. Banyak hadis yang semakna menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. memang sedang mengangkat tangan. Jenis hadis maknawi ini sangat banyak jumlahnya. Misal, hadis yang menerangkan tentang waktu salat, rakaat salat, salat jenazah, salat id, tata cara salat, pelaksanaan haji, dan kadar zakat harta.

Faedah Hadis Mutawatir

Hadis mutawatir unggul dari hadis yang lain, maksudnya hadis mutawatir memiliki kualitas yang lebih tinggi, baik dari segi perawi hadis dan kedabitannya tidak perlu disebabkan dengan penyaringan dan persyaratan sebagaimana di atas, tidak mungkin periwayat sepakat berdusta. Bahkan, karena keunggulannya tersebut menjadikan hadis mutawatir tidak masuk dalam pembahasan ilmu hadis, akan tetapi cukup dengan meneliti kualitas perawinya saja.

Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qat’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad saw. benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadis mutawatir tentang keadilan dan kedabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadis mutawatir. 

Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadis mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadis mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan pancaindra).

2. Hadis Ahad

Pengertian Hadis Ahad

Kata ahad atau wahid dari segi bahasa berarti satu. Secara istilah hadis ahad adalah suatu hadis (khabar) yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih, tetapi tidak memenuhi faktor-faktor yang menjadikannya masyhur.

Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan. Oleh karena itu, masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya, Jika ternyata telah diketahui bahwa hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. 

Neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. 

Macam-macam Hadis Ahad

1. Hadis Masyhur

Masyhur dari segi bahasa ialah al-intisyar wa asy-syuyu’, yaitu sesuatu yang sudah tersebar dan populer, sedangkan dari segi istilah adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir. Atau juga hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari satu jalan dan tidak sampai kepada batas hadis mutawatir.

2. Hadis Gairu Masyhur

Hadis Gairu masyhur terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut.

  • Aziz. Kata aziz artinya seolah-olah ditemukan, atau sedikit atau jarang adanya. Pengertian aziz, yaitu hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqah sanadnya. Adapun hadis aziz terdapat pada tingkatan sahih, hasan, dan dhaif.
  • Garib. Garib dari segi bahasa, berarti menyendiri. Ulama hadis mendefinisikan hadis garib adalah hadis yang pada sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendiri dalam sanad itu terjadi.

Pembagian Hadis dari Segi Kualitasnya

Berdasarkan kualitas, hadis dibagi menjadi tiga, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis dhaif.

1. Hadis Sahih

Secara bahasa, sahih artinya yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, atau yang sempurna dan lawan kata dari dhaif (lemah). Secara istilah hadis sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat (cacat), dan tidak janggal.

Ulama memberi pengertian hadis sahih sebagai berikut.

مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُّ الظَّابِطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ مِنْ غَيْرِ مُعَلَّلٍ وَلَاشَاذٍ

Kriteria di atas berimplikasi kepada tidak diterimanya hadis sebagai hadis sahih apabila berbeda dengan kriteria yang telah disebutkan di atas. Adapun dengan istilah-istilah di atas maka hadis sahih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 

a. Bersambung Sanad

Bersambung sanad (ittishal Al-sanad) atau sanadnya muttasil atau bersambung dari perawi pertama sampai perawi terakhir. Sanad yang bersambung maksudnya sanad yang selamat dari keguguran, Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu sejak awal hingga akhir dan menerima langsung dari guru yang memberinya.

b. Perawi Adil

Adil dari segi bahasa disebut dengan lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tulus, tidak menyimpang dan jujur. Seseorang dikatakan adil, apabila terdapat sifat yang dapat mendorong dirinya terpelihara ketakwaannya, yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangan, serta terjaga tingkah lakunya. Perawi adil dalam periwayatan sanad hadis, harus Islam dan balig, serta memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 

  • Senantiasa melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan agama.
  • Senantiasa menjauhi dosa-dosa kecil.
  • Senantiasa menjaga ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah atau kehormatan

c. Perawi Dabit

Kata dabit menurut bahasa, artinya kokoh dan kuat. Seorang perawi dikatakan dabit apabila ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya. 

Menurut Ibnu Hajar Asqalani, perawi yang dabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap segala sesuatu yang pernah didengarnya kemudian mampu menyampaikan hafalannya tersebut jika sewaktu-waktu diperlukan. 

Ini artinya bahwa orang tersebut dabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami isinya sehingga terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikan kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana semestinya.

Dabit terbagi menjadi dua, yaitu dabit fi as-sadr dan dabit fi al-kitab. Dabit fi assadr adalah terpeliharanya periwayatannya dalam ingatan sejak ia menerima hadis sampai ia meriwayatkannya kepada orang lain, sedangkan dabit fi al-kitab adalah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatannya melalui tulisan.

d. Selamat dari Syadz (al-salamh min al-Syuszudz) atau Tidak Janggal (Syadz). 

Pengertian syadz atau syudzudz menurut Syafi’i dan jumhur ulama adalah hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau tsiqah. Melihat pengertian syadz di atas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat dan lebih tsiqah. 

e. Tidak Cacat (illal)

Illat bentuk jamaknya illal atau al-llal menurut bahasa, artinya cacat, rusak, buruk, dan kesalahan baca. Sehingga dapat kita mengerti hadis yang berillat adalah hadis yang mengandung kecacatan.

Menurut istilah illat artinya suatu sebab yang tersembunyi atau samar-samar sehingga dapat merusak kesahihan hadis. Dikatakan samar-samar di sini apabila dilihat secara zahir hadis tersebut tampak sahih. Adanya samar-samar pada hadis tersebut mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak sahih.

Dengan demikian maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. Illat dapat terjadi pada sanad maupun matan maupun kedua-duanya. Namun yang paling banyak ditemui terdapat pada sanadnya.

Adapun hadis sahih terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

  1. Hadis sahih lizati yaitu hadis yang memenuhi kelima syarat tersebut di atas.
  2. Hadis sahih ligairihi yaitu hadis yang keadaan rawi-rawinya kurang hafid dan dabit, tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, sebenarnya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.

Para ulama hadis membagi tingkatan hadis sahih menjadi tujuh, berikut ini urutannya.

  1. Hadis yang muttafaq-‘alaihi atau muttafaq-‘alaihi sihhatihi, yaitu hadis sahih yang telah disepakati oleh kedua imam hadis, Bukhari dan Muslim, tentang sanad-nya (Assahhush-sihah).
  2. Hadis yang hanya diriwayatkan (ditakhrijkan) oleh Imam Bukhari sendiri, sedang Imam Muslim tidak meriwayatkan (infarada bihil-Bukhari).
  3. Hadis yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri sedang Imam Bukhari tidak meriwayatkan (infarada bihi’-Muslim).
  4. Hadis sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim, yang disebut dengan sahihun ‘ala syarthil Bukhari wa Muslim, sedang kedua imam tersebut tidak mentakhrijnya.
  5. Hadis sahih yang menurut syarat Bukhari, sedang beliau sendiri tidak mentakhrijnya. Hadis yang demikian ini, disebut dengan sahihun ‘ala syarthil-Bukhari.
  6. Hadis sahih menurut syarat Muslim, sedang Imam Muslim sendiri tidak mentakhrijkannya. Hadis yang demikian ini dikenal dengan nama sahihun ‘ala syarthil Muslim.
  7. Hadis yang tidak sahih menurut salah satu syarat dari kedua imam, Bukhari dan Muslim.

2. Hadis Hasan

Secara bahasa, hadis hasan berarti hadis yang baik. Secara istilah, terjadi perbedaan pendapat. At-Tirmizi mengungkapkan bahwa tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat kejanggalan, dan hadis itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (banyak jalan) yang sepadan dengannya. 

Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya. Bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz atau janggal.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, akan tetapi terdapat perbedaan pada persoalan hafalannya atau daya ingat perawi. Pada hadis sahih daya hafalannya harus sempurna akan tetapi hadis hasan kurang kuat hafalan dan daya ingatnya. 

Para ulama membagi hadis hasan menjadi dua, yaitu hadis hasan lizati dan hasan li gairi. Hasan lizati adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan di atas. Adapun hadis hasan li gairi, yaitu hadis dhaif akan tetapi karena ada sanad dan matan lain yang menguatkannya (syahid dan mutabi’) maka kedudukan hadis dhaif tersebut naik derajatnya menjadi hasan li gairihi.

Berikut adalah syarat-syarat untuk menjadi hadis hasan. 

  1. Sanadnya bersambung.
  2. Perawi adil.
  3. Perawi dabit, tetapi kedabitannya di bawah perawi hadis sahih.
  4. Tidak terdapat kejanggalan (syadz).
  5. Tidak ada illat.

Mengenai kehujjahan hadis hasan, maka para ulama hadis berpendapat bahwa hadis hasan dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana hadis shahih. Namun tingkat kehujjahannya berada di bawah hadis shahih sehingga apabila ditemukan kontradiksi antara hadis hasan dan shahih, maka hadis shahih harus lebih didahulukan.

3. Hadis Dhaif

Menurut Bahasa, dhaif artinya lemah atau lawan kata dari kuat. Maka dapat dipahami bahwa hadis dhaif adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat. Hadis dhaif adalah hadis yang tidak memiliki syarat-syarat bisa diterima. Para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda terhadap hadis dhaif ini, antara lain.

Nur Ad-Din

Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis yang shahih atau hadis yang hasan). Dari pendapat Nur Ad-Din tersebut dapat kita pahami bahwa jika ada satu syarat hadis hasan atau sahih yang hilang, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dhaif. Terlebih lagi jika hadis tersebut hilang dua atau tiga syarat, seperti kedabitannya atau keadilannya bahkan adanya kejanggalan pada matannya, maka dapat disebut sebagai hadis dhaif yang sangat lemah.

Imam Nawawi

Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan.