Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Pengertian dan Sejarah Munculnya Faham Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) Dan Firqoh-Firqohnya

Daftar Isi [Tampilkan]

Pengertian Dan Sejarah Munculnya Faham Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) Dan Firqoh-Firqohnya

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 

      Pada era zaman akhir ini bermunculan Aliran-aliran yang beraneka ragam corak dan warnanya. Dimana masing-masing aliran mengklaim bahwa golongan merekalah yang paling benar. Memang hal ini sudah disabdakan oleh Baginda Rosululloh SAW,bahwa umatnya nanti akan terpecah menjadi 73 golongan. Dan hanya satu yang selamat dan akan masuk syurga. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri golongan yang di janjikan Rosulullah. Agar kita selamat. Atas dasar inilah, saya akan membahas tentang golongan yang setia pada Rosulnya dan sahabatnya yang kita kenal dengan golongan ASWAJA.

      Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah adalah ajaran atau faham keagamaan yang digali langsung dari sumber-sumber ajaran Islam. Karena itu harus diyakini kebenarannya, dijadikan sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak bagi umat Islam yang tercermin dlam tingkah laku keseharian dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hubungan dengan Allah SWT maupun hubungan dengan sesama manusia, serta hubungan dengan semesta alam. Dengan demikian diperlukan upaya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah ditengah-tengah keadaan dan perkembangan kehidupan, kapanpun dimanapun dan dalam keadaan apapun.

      Paham Ahlussunnah wal Jamaah yang berkembang di Indonesia sejak masa permulaan dan sampai sekarang tetap diikuti oleh mayoritas umat Islam . Para ulama dan tokoh Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia sejak dulu sampai sekarang memiliki semangat yang tinggi dalam mengajarkan dan mendakwahkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah melalui berbagai bentuk kegiatan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan,  melestarikan, meneguhkan dan mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.

1.2 Rumusan Masalah 

Apa pengertian Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) ?

  1. Bagaimana sejarah munculnya Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) ?
  2. Apa saja firqoh-firqoh dalam Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) ?

1.3 Tujuan 

  1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) 
  2. Untuk mengetahui sejarah munculnya Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) 
  3. Untuk mengetahui firqoh-firqoh dalam Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) 

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aswaja 

      Ahlusunnah wal- Jama’ah (ASWAJA) terdiri dari tiga kata, ahlu, sunnah, dan jama’ah. Ahlu bermakna golongan. Sedangkan as-sunnah ialah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi SAW, Secara khusus dan tidak terdapat dalam al-Qur’an, tapi dinyatakan oleh Nabi. Jadi, beliau sekaligus merupakan penjelasan isi al-Qur’an. Kemudian al-Jama’ah  adalah golongan yang mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabanya. maksudnya adalah jama’ah sahabat-sahabat Nabi Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan membelanya.

      Dari definisi di atas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tapi ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya. Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari istilah tersebut oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang menerangkan akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi. yang artinya :

“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para sahabat Nabi bertanya : Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab : Yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh pada i’tiqad yang dipegangi oleh sahabat-sahabatku”

2.2 Sejarah Aswaja

      Ketika Rasulullah SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan anshar, siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan menimbulkan perselisihan antara kaum Muhajirin dan anshar. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukan siapa khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu bakar sebagai khalifah.

      Pada masa itu mulai terlihat adanya perpecahan antar umat islam yang berlanjut hingga masa kepemimpinan khulafa’ berakhir yang kemudian dilanjutkan oleh para kholifah dari berbagai dinasti dan sampailah pada dinasti dimana imam-imam madzhab aliran-aliran muncul.

      Menurut sebagian sejarawan, istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah itu digunakan sejak abad III H. mereka menyebutkan satu bukti yang ditemukan pada lembaran surat Al-Ma’mun (khalifah dinasti Abbasiyah ke-6). Di sana, tercantum kata-kata, “wa nassaba nafsahum ilaa as-Sunnah (mereka menisbatkan diri pada sunnah). Abad ini adalah periode tabi’in dan para imam-imam mujtahid, di kala pemikiran-pemikiran bid’ah sudah mulai menjalar terutama bid’ah dari kaum mu’tazilah. Sejarah mengatakan bahwa khalifah al-Ma’mun merupakan khalifah yang mengambil mu’tazilah sebagai akidah resmi negara kemudian memaksakan doktrin-doktrin Mu’tazilah kepada kaum muslimin.

      Munculnya istilah Ahlusunnah wal-Jamaah merupakan perwujudan dari sabda Rasulullah SAW “Selalu segolongan dari umatku mendapatkan pertolongan” (H.R. Ibnu Majah). Untuk orang-orang inilah, istilah ahlusunnah wal-jama’ah ditujukan. Dengan kata lain, ahlu sunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh sunnah Rasulullah SAW dan ajaran para sahabat, baik dalam masalah akidah, ibadah, maupun etika batiniah (tasawuf).

      Aliran Ahlu sunnah wal Jama’ah tak lepas dari para pendirinya yaitu Imam Abu Hasan Al-asy’ari dan juga imam Abu Mansur Al-Maturidi. Saat kondisi perpolitikan Abbasiyah tengah tergoncang dan akidah pada masa itu semakin kabur dengan paham-paham baru yang muncul, lahirlah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Kelahirannya saat Abbasiyah berada pada kepemimpinan Al- Mu’tamid ‘ala Allah.

      Bersama dengan imam Al-Maturidi, Imam al-Asy’ari berjuangan keras mempertahankan sunnah dari lawan-lawannya. Mereka bagaikan saudara kembar. Dari gerakan-gerakan al-Maturidi muncul karya-karya yang memperkuat madzhabnya, seperti kitab Al-Aqaid an-Nasafiyah karya Najmudin an-Nasafi, sebagaimana muncul dari al-Asy’ari beberapa karya yang memperkokoh madzhabnya seperti as-Sanusiyah dan al-Jauharoh.

      Akidah yang dibawakan oleh imam Asy’ari menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuk dan seolah menjadi aqidah resmi negara. Paham As’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti al-Mahdi bin tumirat dan Nurudin Mahmud Zanki serta sultan Salahudin al-Ayyubi. Juga didukung oleh sejumlah besar Ulama, terutama para imam madzhab. Sehingga wajar sekali kalau akidah asy’ariyah adalah akidah terbesar di dunia.

      Begitupun dengan al-Maturidi, aliran ini telah meninggalkan pengaruh dalam dunia islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara akal dan dalil naqli, pandangannya yang bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang siifatnya juz’I ke sesuatu yang kulliy. Selanjutnya para pengikut keduanya lah yang melanjutkan dan menyebarkan aliran-aliran beliau dengan membukukan kitab-kitab maupun yang lainnya.

2.3 Firqoh-firqoh Aswaja

Berikut adalah macam macam firqoh yang bermunculan:

a. FAHAM MU’TAZILAH

      Definisi Mu’tazilah Secara Etimologi, Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab “Pitizal” artinya kesendirian, kelemahan dan keterputusan, menyisihkan diri.kaum Mu’tazillah berarti kaum yang menyisihkan diri.

       Secara Terminologi, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.

     Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.

      Golongan ini dinamakan Mu’tazilah, karena Washil itu memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan Al-Basyri, karena perbedaan pendapat tentang orang Islam yang mengerjakan maksiat dan dosa besar, hingga mati ia belum juga tobat. Dalam masalah ini golongan Mu’tazilah menganggap mereka tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi Manzilah baina Manjilatain.

      Sejarah Lahirnya Mu’tazilah adalah Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.

      Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

      Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka maka, sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar.

b. FAHAM KHOWARIJ

      Definisi dan Sejarah Kemunculan Khowarij Imam Syahrostani mendefinsikan khowarij sebagai, ”Semua kelompok masyarakat yang keluar daripada ketaatan kepada kepemimpinan (imam) yang sah dan yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam, baik pada masa kepemimpinan sahabat khulafaurrosyidin, tabi’in (pengikut sahabat), atau masa kepemimpinan umat Islam di setiap zaman.” (Syahrostani, Kitab Al Milal wan Nihal, 1/129).

      Imam Ibnu Hazm menambahkan, “Setiap orang yang mendukung pikiran-pikiran mereka atau memiliki pikiran dan ideooogi seperti mereka juga disebut khowarij, kapanpun ia berada.” Jelas, khowarij tidak terbatas pada masa atau episode tertentu, tapi bisa jadi sepanjang sejarah anak Adam.

Mengenai awal kemunculan khowarij para pakar sejarah Islam berbeda pendapat, ada yang mengatakan, khowarij telah ada sejak zaman rasulullah saw yaitu si Dzul Khuwaisiroh yang tidak setuju terhadap pembagian ghonimah oleh rasulullah saw. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnul Jauziy dan Ibnu Hazm. Sebagian berpendapat, ia muncul pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Abil ‘Izz. Tetapi pendapat yang rojih adalah yang mengatakan kemunculan Khawarij pertama kali setelah peristiwa tahkim (dialog damai) sebagai upaya mencari jalan damai dalam mengakhiri peperangan Shiffin antara pihak Ali bin Abi Tholib ra, sebagai kholifah yang sah dengan pihak Mu’awwiyah ra.

      Syaikh Muhammad Al Qursyi menyimpulkan pendapat para ulama mengenai sejarah khowarij, beliau berkata, “Dari sisi ide dan bibit pemikiran Khowarij telah muncul sejak zaman Nabi saw, yaitu pada kasus Dzul Khuwaishiroh. Jadi saat itu masih terbatas pada gejala pemikiran, belum berbentuk sebuah organisasi dan pergerakan. Khowarij menjelma menjadi organisasi pergerakan yang terpimpin baru muncul setelah peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awwiyah.

c. FAHAM  MURJI’AH

      Asal-Usul Kemunculan Murji’ah nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.

      Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.

      Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. 

      Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.

d. FAHAM  SYI’AH

      Definisi Syi’ah Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).

      Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

      Keyakinan Syiah adalah Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

   Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

      Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

    Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini. 

e. FAHAM JABARIYAH

      Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’, artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalism atau predestination (segalanya ditentukan oleh Tuhan). Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh Tuhan.

      Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran ini : Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.

      Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang lain.

Pokok- pokok paham Jabariyah

      Paham Jabariyah bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.

      Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.

     Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya : “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”

     Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap terbelakang.

f. FAHAM QODARIYAH

      Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
      Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’ ; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula (pembantu) Usman bin Affan.

      Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, 

Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M). 

      Ditinjau dari segi politik, keberadaan Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah.

      Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham Mu’tazilah.

Faham Qadariyah di antara I’tiqadnya adalah: Manusia berkuasa penuh menciptakan amalnya, maka dalam amal perbuatan manusia tak ada campur tangan dari kekuasaan lain, termasuk tak ada campur tangan kekuasaan Tuhan. Iman itu pengertian dan pengakuan, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah.

g. FAHAM MUSYABIHAH

      Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan Makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa Tuhan Allah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.

      Ada juga yang menanamakan kaum ini dengan “kaum Mujassimah” yakni kaum yang menubuhkan, karena mereka menubuhkan Tuhan, mengatahakan Tuhan bertubuh yang terdiri dari darah daging, bermuka, bermata, bertangan, berkaki, dan bahkan ada yang mengatakan, bahwa Tuhan itu berkelamin dan kelaminnya itu laki-laki.

      Ada juga yang menamai mereka dengan kaum Hasyawiyah’. Yang artinya percakapan omong kosong, percakapan di luar batas, percakapan hina-dina. Jadi mereka itu adalah kaum omong kosong.

Kebanyakan kaum Musyabbiliah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang menganut madzhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hambal tidak berkeyakinan dan tidak beri’itiqad sebagai mana mereka. Aqidah kaum Musyabbihah : Tuhan berjisim serupa makhluk. Tuhan melihat dengan mata, mendengar dengan telinga dan sebagainya. Tuhan berada di atas langit, duduk di atas Arasy, dan berbentuk Nur.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

      Ahlusunnah wal- Jama’ah (ASWAJA) terdiri dari tiga kata, ahlu, sunnah, dan jama’ah. Ahlu bermakna golongan. Sedangkan as-sunnah ialah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi SAW, Secara khusus dan tidak terdapat dalam al-Qur’an, tapi dinyatakan oleh Nabi. Jadi, beliau sekaligus merupakan penjelasan isi al-Qur’an. Kemudian al-Jama’ah  adalah golongan yang mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabanya. maksudnya adalah jama’ah sahabat-sahabat Nabi Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan membelanya.

      Sepeninggal Rasulullah SAW. agama Islam tersebar luas ke luar Jazirah Arab. Bangsa-bangsa yang semula telah memiliki agama dan keyakinan tertentu kemudian masuk Islam. Di antara mereka terdapat kelompok yang berkeinginan memasukkan ajaran dan keyakinan mereka kedalam ajaran Islam. Akibatnya, muncul aliran-aliran sesat yang mengancam kemurnian ajaran Islam.Semula aliran-aliran itu muncul karena perselisihan politik yang terjadi pada akhir pemerintahan khalifah Usman bin ‘Affan. Perselisihan politik ini berlanjut pada masa pemerintahan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam keadaan yang demikian, muncullah seorang ulama besar bernama Abul Hasan Al-Asy’ari. Semula beliau mengikuti aliran Mu’tazilah karena beliau murid Al-Jubai, seorang tokoh Mu’tazilah. Akan tetapi, setelah membandingkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkesimpulan bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah telah menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.Oleh karena itu, beliau menyatakan diri keluar dari golongan Mu’tazilah dan merumuskan akidah Islamiyah sesuai Al-Qur’an dan Al-Hadits serta ajaran yang dikembangkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’it. Ajaran inilah yang disebut dengan “Ahlussunnah Wal Jama’ah”.

3.2 Saran 

      Hendaknya sebagai muslim yang beriman selalu mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasululloh dan tidak mengubah apa yang pernah diajarkannya, karena itu akan mengakibatkan pertikaian antar golongan. Dan dengan selesainya penulisan makalah ini menyadarkan bahawa masih jauh dari kata sempurna. Maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kedepannya lebih focus dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan dapat dipertanggung jawabkan. 

DAFTAR PUSTAKA

Sirajuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1983.

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Aliran-aliran Teologi Islam, Jawa Timur : Purna Siswa Aliyah, 2008.

Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja, Yogyakarta:Gambiran UHV,2000.

Ali Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003.

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:CV Pustaka Setia,2007.