Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah Menurut Nahdlatul Ulama

Daftar Isi [Tampilkan]

Dalam menentukan awal bulan Qamariyah yang ada hubungannya dengan ibadah, NU berpegang pada beberapa al-Hadis yang berhubungan dengan rukyat. Selain al-Hadis, NU juga berpegang pada pendapat para ulama Imam Madzhab, mereka menyebutkan bahwa awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditetapkan berdasarkan rukyah al-hilal dan dengan isti'mal.

Sikap NU tentang sistem penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah diambil melalui keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo (1984), Munas Alim Ulama di Cilacap (1987), Seminar Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu Sukabumi (1992), Seminar Penyerasian Metode dan Rukyat di Jakarta (1993), dan Rapat Pleno VI PBNU di Jakarta (1993), yang akhirnya tertuang dalarn Keputusan PBNU No. 311/A.IL04.d/1994 tertanggal 1 Sya'ban 1414 11/13 Januari 1994 M, dan Muktarnar NU XXX di Lirboyo Kediri (1999). Keputusan PBNU tersebut telah dibukukan dengan judul "Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama". 

Berikut kutipan pasal 1 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rukyah bi al-fi'li: 

  1. Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU tetap berpegang pada putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/ Tahun 1984 di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/ 1987, bahwa penetapan Awal Ramadan, Awal Syawal dan Awal Dzulhijjah wajib didasarkan atas rukyah al-hilal bi al-fi'li atau istikmal. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan rukyat. 
  2. Bahwa penetapan awal Ramadan, awal Syawal dan awal Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap lapisan kaum muslimin di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah (itsbatul hakim). Oleh sebab itu agar diupayakan semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yang disaksikan oleh petugas pemerintah (Kementerian Agama). 
  3. Bila hai ini tidak dimungkinkan oleh karena satu dan lain hal, maka agar supaya Itsbatul hakim dilakukan atas dasar Hasil Rukyat atau Istikmal, maka hasil Rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada Pemerintah c/q Kementerian Agama RI untuk di-itsbat Pelaporannya bisa lewat PA (Pengadilan Agama) setempat atau langsung kepada Kementerian Agama Pusat (Badan Hisab dan Rukyat). 
  4. Apabila Pemerintah c/q Kementerian Agama menolak untuk melakukan itsbat atau istikmal, maka hasil rukyat yang telah dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama tersebut menjadi wewenang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/Lajnah Falakiyah untuk menginformasikan/mengikhbarkan kepada segenap warganya di seluruh penjuru tanah air, melaiui jaringan organisasi maupun saluran informasi yang ada. 
  5. Dalam melaksanakan tugas penyebaran informasi hasil-hasil rukyat ke daerah-daerah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/PWNU/PCNU/MWC-NU menekankan perlunya ditempuh cara-cara yang bijaksana, santun, dan simpatik. 
  6. Rukyah bi al-Fi'li dengan menggunakan alat (nazdarah) diperbolehkan baik dalam keadaan cuaca cerah maupun dalam keadaan ghaym, kecuali bila posisi hilal berada di bawah ufuq menurut kesepakatan (ittifaq) para ahli hisab. 

Menurut NU, penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada sistem rukyat sedang hisab sebagai pendukung. Pandangan NU tentang rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awai bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas pemahaman, bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat ta'abbudiy. 

Ada nash al-Quran yang dapat dipahami sebagai perintah rukyat, yaitu Qs. al-Baqarah (2):185 (perintah berpuasa bagi yang hadir di bulan Ramadhan) dan QS. al-Baqarah (tentang penciptaan ahillah). Dan tidak kurang dari 23 al-Hadis tentang rukyat, yaitu yang diriwayatkan Olen al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan lain-lain. Dasar rukyat ini dipegangi oleh para sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan empat madzhab. 

Sebagai konsekuensi dari prinsip ta'abbudiy, NU tetap menyelenggarakan rukyah al-hilal bi-al fi'li di lapangan, betapa pun menurut hisab hilal masih di bawah ufuk atau di atas ufuk tapi ghair al-imkan al-rukyah yang menurut pengalaman, hilal tidak akan kelihatan.

Hal demikian ini dilakukan agar pengambilan keputusan istikmal itu tetap didasarkan pada sistem rukyat di lapangan yang tidak berhasil melihat hilal, bukan atas dasar hisab. Rukyat yang diterima sebagai dasar adalah hasil rukyat di Indonesia (bukan rukyat global) dengan wawasan satu wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehingga apabila salah satu tempat di Indonesia dapat menyaksikan hilal, maka hasil rukyat demikian ini menjadi dasar penetapan umum (itsbat al-‘am) yang berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia. 

Rukyat yang dikehendaki oleh NU adalah rukyat yang berkualitas yang didasarkan atas beberapa alasan:

  1. Pemahaman terhadap al-Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari salah seorang sahabat, Rib'i ibn Hirasy, yang didalamnya terdapat ungkapan "Demi Allah, sesungguhnya hilal telah tampak,".
  2. Kata sumpah "sungguh" dan kata "tampak" dalam Hadis mengisyaratkan, bahwa rukyah al-hilal itu benar-benar terjadi dan meyakinkan, sehingga Rasulullah Saw menerima laporan itu. Hal ini dapat dipahami, bahwa Rasulullah Saw menerima laporan itu karena rukyat itu berkualitas. 
  3. Pemahaman terhadap qaul Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj jilid III bab shiyam halaman 223, yang artinya: "yang dimaksudkan adalah bahwa hisab bisa diterima apabila para ahlinya sepakat, bahwa dalil-dalilnya qath'i dan orarng orang yang memberitakan hisab tersebut mencapai mutawatir, hingga persaksian rukyat itu ditolak. Jika tidak demikian, maka tidak ditolak." Qaul ini dalam konteks laporan hasil rukyat yang ditolak jika para ahli hisab yang mencapai jumlah mutawatir sepakat, bahwa Saat itu hilal ghairu imkan al-rukyah secara hisab. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Ibn Hajar al-Haitami menghendaki adanya rukyat yang berkualitas. 

Untuk mendukung proses pelaksanaan rukyat, maka NU memilih metode yang tingkat akurasinya tinggi agar memperoleh hasil Yang berkualitas. Dalam konteks ini, NU pun menerima kriteria al-imkan al-rukyah.

Kriteria al-imkan al-rukyah hanyalah sebagai instrumen untuk menolak laporan adanya rukyah al-hilal, sedangkan para ahli hisab telah bersepakat, bahwa hilal masih di bawah ufuq atau di atas ufuq tapi ghairu imkan al-rukyah. Jadi kriteria al-imkan al-rukyah tidak digunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah. 

Jelasnya apabila menurut hitungan hisab bahwa hilal sudah al-imkan al-rukyah, tetapi kenyataan di lapangan hilal tidak berhasil dirukyat, maka penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas dasar istikmal. Jadi posisi ilmu hisab berikut kriteria al-imkan al-rukyah bersifat ta'aqquliy sebagai sarana untuk mendukung proses penyelenggaraan rukyat. 

Proses pengambilan keputusan yang diterbitkan oleh PBNU sehubungan dengan hasil rukyat untuk menentukan awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah melalui 4 tahap:

Melakukan hisab awal bulan untuk membantu pelaksanaan rukyat dan untuk mengontrol keakurasian laporan hasil rukyat. 

Menyelenggarakan rukyah al-hilal bi al-fi'li di lokasi-lokasi strategis yang telah ditentukan di seluruh Indonesia. 

Melaporkan hasil rukyat dalam sidang itsbat yang dilaksanakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. 

Setelah ada itsbat dari Kementerian Agama, PBNU mengeluarkan ikhbar sehubungan dengan itsbat tersebui untuk menjadi Pedoman warga NU. Ikhbar PBNU dapat sejalan dengan itsbat pemerintah jika diterbitkan atas dasar rukyat. Jika itsbat tidak berdasarkan rukyat, maka PBNU berwenang untuk mengambil kebijakan lain. Jadi PBNU tidak dalam kapasitas meng-itsbat-kan hasil rukyat, hak itsbat ada pada pemerintah, hak ikhbar ada pada PBNU.