Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

(Dalil Alquran dan Hadis) Dasar Penetapan Awal-Akhir Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha

Daftar Isi [Tampilkan]

Dasar Penetapan Awal-Akhir Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha

Nahdlatul Ulama sebagai sebuah Jam'iyah Diniyah Islamiyah, sesuai tujuan keberadaannya, berkewajiban untuk senantiasa mengamalkan, mengembangkan, dan menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang diyakininya. Termasuk didalamnya adalah penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya yang ada hubungannya dengan ibadah, yakni bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Metodologi penentuän awal bulan Qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyah al-hilal bi al-fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat. 

Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan rukyah al-hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukum menurut sumbernya antara lain: 

1. QS. Al Baqarah ayat 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

185.  Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

2. Al-Baqarah ayat 189 

۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

189.  Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

3. Sabda Rasulullah 

Artinya: 'Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal), dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Mutafaq 'Alaih) 

Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah Saw hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyah al-hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa Ramadhan dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya, apalagi cara menghitungnya. 

Hadis lain yang diriwayatkan Abu Daud:

Artinya: "Datang seorang Badui ke Rasulullah Saw seraya berkata: 'Sesungguhnya aku telah melihat hilal!" (Hasan, perawi Hadis menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang Badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah Saw bersabda: "Apakah Kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Dia berkata: "Benar." Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: "Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: 'Ya benar." Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok." (HR Abu Daud) 

4. Di dalam kitab Fathul Qadir fiqh madzhab Hanafi jilid 4 halaman 291, dijelaskan: 

Artinya: "Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi Barat."

Wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah timur untuk mengikuti ketetapan ru'yat yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di barat. 

5. Di dalam kitab Furu' Malik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 halaman 426, disebutkan: 

Artinya: 'Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya seperti halnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini" 

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya ru'yah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah Yang berjauhan (iktilaf matholi)

6. di dalam kitab Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Kholil juz 6 halaman 396 dijelaskan:

Artinya: "Adapun sebab diwajibkannya ada dua, yang pertama: terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang Sudah tersebar luas." 

7. Di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin disebutkan: 

Artinya: "Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari." 

8. Didalam kitab Al-'Ilm al-Manshur fi Itsbatal-Syuhur, disebutkan: 

Artinya: "Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: "Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma' ulama salaf bertentangan dengannya."