Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Kebijakan Pemerintah Terhadap Kenaikan Harga Gula Untuk Meningkatkan Penghasilan Petani

Daftar Isi [Tampilkan]

BAB I PEDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 360 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi.

Peningkatan hasil produksi pada petani tebu selama ini tidak berimbang terhadap penghasilan yang didapatkan karena beberapa faktor yang mempengaruhinya semisal harga yang ditetapkan oleh pemerintah belum bisa membuat petani tebu berpenghasilan yang seimbang dengan usahanya sehingga terjadi ketimpangan terhadap harga gula dengan modal produksi yang digunakan petani tebu tersebut.

Pemerintah perlu membuat kebijakan supaya petani tebu yang ada di Indonesia yang mempunyai dampak terhadap penghasilan petani tebu itu sendiri, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menaikkan tarif gula yang ada dipasaran sehingga akan berdampak pada meningkatnya penghasilan petani tebu dan juga menyeimbangkan harga gula import dengan gula lokal sehingga terjadi kesetaraan harga antara gula import dan gula lokal dari petani tebu yang ada di Indonesia.

1.2.    Rumusan Masalah

  1. Apa yang mendasari dilakukannya import gula?
  2. Mengapa pemerintah menetapkan kebijakan kenaikan tarif  import gula?
  3. Bagaimana dampak dari kebijakan yang telah dilakukan pemerintah?

1.3.    Tujuan

  1. Mengetahui apa yang mendasari impor gula
    Untuk mengetahui pemerintah menetapkan kebijakan kenaikan tarif  import gula
  2. Mengetahui dampak dari kebijakan pemerintah dalam meningkatkan tarif harga gula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Usaha Tani Tebu   

    Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan. Variabel yang sangat penting dalam proses budi daya tanaman tebu adalah keadaan lahan, agroklimat, waktu tanam, teknik budi daya, proporsi tebu pertama dan tebu keras serta panen (tebang dan angkut).

Tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula secara optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan sedikit air pada masa pertumbuhan generatifnya (Mubyarto dan Damayanti, 1991).
 
Teknologi budi daya yang tepat serta penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat akan dikirim ke pabrik gula sehingga tebu yang akan digiling di pabrik gula mempunyai kriteria bersih, segar dan manis.
Sistem usahatani tebu dilaksanakan dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dan Sistem Tebu Rakyat (TR). Dalam sistem HGU, pelaksanaan penanaman tebu, tebang angkut kemudian proses pengolahan menjadi gula merupakan tanggung jawab pabrik gula. Pada sistem TR yang dilaksanakan dengan pola kemitraan, petani bertanggung jawab terhadap kebun tebu sampai kegiatan tebang angkut dan proses pengolahannya diserahkan ke pabrik gula.
 
Sistem tebu rakyat dengan pola kemitraan dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Indonesia. Berdasarkan Inpres 26  tersebut, petani yang berada di wilayah-wilayah tertentu diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku gula. Namun pada tahun 1997 pola ini mengalami perubahan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 tentang Program Pengembangan Tebu Rakyat antara pabrik gula dan petani dengan fasilitas kredit. Perubahan yang mendasar dari Inpres tersebut adalah adanya kebebasan petani tebu untuk memilih komoditas tanaman yang dikehendakinya. Hal ini menyebabkan berkurangnya areal tebu sawah akibat adanya persaingan dengan tanaman alternatif yang dianggap lebih menguntungkan

Adanya persaingan dengan tanaman alternatif, terutama padi menyebabkan pergeseran lahan dari lahan sawah beririgasi menjadi lahan tegalan yang kurang ideal bagi tanaman tebu. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku ke pabrik gula dan pabrik beroperasi di bawah kapasitas gilingnya sehingga mengurangi efisiensi dan mengganggu kinerja pabrik.
Untuk mengatasi hal tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas tebu. Agar tanaman tebu dapat bersaing dengan tanaman alternatif, maka produktivitas tanaman tebu harus mencapai 80 ton per hektar dengan tingkat rendemen 8 ton per hektar (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).

2.2    Kebijakan Ekonomi Gula

Perubahan yang paling mendasar yang melandasi ekonomi gula adalah dibebaskannya tataniaga gula dari monopoli Bulog ke mekanisme pasar pada tahun 1998. Selain sistem tataniaga, sistem produksi juga mengalami perubahan dengan dicabutnya Inpres No 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih tanaman yang diusahakannya sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Papahan, 2004).
 
Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama petani tebu. Namun dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk 0 persen bagi komoditi pertanian menyebabkan membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual kepada konsumen sehingga harga gula domestik mengalami penurunan yang drastis dari Rp 3 000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah menghilangkan insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu.

Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif spesifik sebesar Rp 550,- per kg untuk raw sugardan Rp 700 untuk white sugar (Sawit, et al, 2004). Tahun 2002 kebijakan tersebut dikombinasikan dengan kuota impor berdasarkan SK Menperindag Nomor 643/MPP/Kep/2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula (IT). IT ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan impor gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp 3 100 per kg. Kebijakan ini telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu.

Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keputusan Republik Indonesia Nomor 58 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula.

2.3    Penelitian Yang Terkait

Studi yang dilakukan oleh Nelson dan Panggabean (1991), menyatakan bahwa kebijakan industri gula di Indonesia merupakan suatu jaringan kebijakan yang saling bertentangan dan kompleks baik antara kegiatan di bidang produksi, price support, pupuk maupun subsidi kredit. Melalui pendekatanPolicy Analysis Matrix (PAM) hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada musim tanam 1986/1987, baik pada lahan kering maupun irigasi pengusahaan komoditas tebu tidak memberikan keuntungan sosial karena tingginya opportunity cost dari penggunaan lahan. Malah ditemukan bahwa keuntungan sosial ada lahan beririgasi negatif karena biaya opportunity cost dari tanah.

Khusus untuk lahan kering keuntungan sosialnya negatif tapi keuntungan privatnya positif. Sedangkan di tingkat pengolahan total biaya privat menggiling tebu (termasuk biaya untuk tebu) adalah sebesar Rp 383 miliar, sedangkan total pendapatan hanya Rp 372 miliar, jadi ada privat loss sebesar Rp 11 miliar. Biaya sosial untuk mengolah gula lebih besar daripada biaya privat. Sumber perbedaannya adalah pada subsidi modal pada penggilingan sebesar Rp 69 miliar.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah terdapat biaya sosial yang hilang sebesar Rp 465 miliar. Petani, konsumen dan pemerintah menyubsidi produksi gula. Bagi petani, transfer yang diterima dari subsidi modal, input dan harga yang lebih tinggi dari harga dunia akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar lebih banyak jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke penggilingan dan petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia.
 
Rawan dan Hutabarat (1991) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan maka hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Pada usahatani tebu, perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih besar   terhadap keuntungan usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat.
  2. Bila dibandingkan menurut kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani lebih besar pada tanaman tebu baru lahan sawah daripada tanaman tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering.
Pola yang sama terjadi untuk pengaruh harga pupuk dan obat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan usahatani dibanding tebu keprasan. Penggunaan masukan pada usahatani tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu baru lahan sawah hanya penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan obat hendaknya ditingkatkan.
Hadi dan Nuryanti (2005) meneliti tentang dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa kebijakan proteksi berupa tarif maupun non tarif menyebabkan kenaikan harga gula domestik. Kenaikan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor gula di tingkat grosir dengan harga aktual di tingkat grosir. Harga paritas impor gula di tingkat grosir pada tahun 2004 adalah Rp 2 201 per kg dan harga aktual di tingkat grosir adalah Rp 3 707 per kg. Selisih antara tingkat harga tersebut adalah Rp 1 505 per kg yang merupakan selisih harga akibat diterapkannya proteksi berupa tarif dan non tarif.
 
Studi yang dilakukan oleh Susila dan Sinaga (2005) tentang analisis kebijakan industri gula Indonesia, didapati bahwa berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti kebijakan harga provenue gula, tarif impor, tariff rate quota, dan subsidi input merupakan instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun tingkat efektivitas dari masing-masing kebijakan berbeda. Kebijakan harga provenue gula memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan tariff rate quota dan kebijakan tarif.

BAB III PEMBAHASAN

3.1     Sejarah  Penyebaran Tebuh Dan Lahirnya Suatu Kebijakan

Tebu, Saccharum officinarum L, memiliki sejarah yang panjang sebagai komoditas pertanian komersial. Tebu diperkirakan berasal dari Papua dan mulai dibudidayakan sejak tahun 8000 sebelum masehi (SM). Tanaman ini kemudian menyebar ke berbagai tempat di dunia seiring dengan migrasi manusia, menyeberangi lautan dan mengarungi daratan. Tebu dari Papua menyebar ke kepulauan Solomon, New Hebride dan Kaledonia Baru.
 
  Alkisah dua orang nelayan di Kepulauan Polinesia menemukan potongan batang tebu tersangkut di jaring ikan mereka. Salah seorang nelayan kemudian melemparkan batang tersebut ke darat karena mengira itu adalah potongan batang kayu biasa yang tidak berguna. Beberapa hari kemudian mereka melihat tunas-tunas muncul dan memanjang dari batang tersebut, yang kemudian diketahui sebagai tebu. Setelah itu, tanaman tebu berkembang di berbagai lokasi di Polinesia.
 
Dua abad kemudian tebu masuk ke wilayah Indonesia tengah dan barat, Philipina, serta bagian barat India. Gula kasar pernah diproduksi di India antara 400 SM hingga tahun 700 M (Masehi). Dari India, tebu dibawa ke China. Di China nira tebu dijemur matahari membentuk padatan yang disebut madu batu. Tahun 500 M tebu mulai memasuki Persia. Saat itu tebu dipakai sebagai pemanis pengganti madu dalam makanan dan minumam. Penyebaran tebu dari Persia ke wilayah yang lebih luas diawali oleh Nabi Muhammad SAW tahun 632 M atau sesaat sebelum beliau wafat ke berbagai wilayah khususnya Jazirah Arab. Tahun 710 M tebu masuk ke Mesir dan selanjutnya menyebar ke Maroko, Suriah, Mediterania, Madeira, dan pulau Canary. Dari Maroko, tanaman tebu menyebar ke Spanyol pada 755 M dan ke Sisilia tahun 950 M.
 
Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan era penting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan
 produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et al.,2000).
 
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar 341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994 - 2004, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194,700 ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Pada periode 1994 - 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 per tahun Penurunan produksi bersumber dari penurunan areal dan penurunan produktivitas seperti penurunan rendemen dari 10% pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.92% pada tahun 1990-an (Dewan Gula Indonesia, 1999).
 
Harga gula di pasar internasional yang terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab kemunduran industri gula Indonesia. Penurunan harga gula ini terutama disebabkan oleh kebijakan hampir semua negara produsen utama dan konsumen utama melakukan intervensi yang kuat terhadap industri dan perdagangan gula. Sebagai contoh, hampir semua negara menerapkan tarif impor lebih dari 50%. Di samping itu, kebijakan dukungan harga (price support) dan subsidi ekspor masih dilakukan oleh negara besar seperti Eropa Barat dan Amerika. Hal ini menempatkan pasar gula merupakan pasar dengan tingkat distorsi tertinggi kedua setelah beras (Noble, 1997; Kennedy, 2001; Groombridge, 2001).

Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia. Pertama, industri gula melibatkan sekitar 1.4 juta petani dan tenaga kerja (Bakrie dan Susmiadi, 1999). Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi, sesuatu yang mengkhawatirkan pelaku bisnis, masyarakat umum, dan pemerintah.

Lebih jauh, membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48% akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan, 2000; Simatupang et al. 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus meningkat yang pada lima tahun terakhir rata-rata devisa yang dikeluarkan sudah mencapai US$ 200 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000).

3.2    Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Gula

Pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan yang secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas dari kebijakan input dan produksi, distribusi dan kebijakan harga. Kebijakan paling banyak berpengaruh adalah kebijakan pengendalian impor. Berdasarkan pada beberapa rejim kebijakan pergulaan di Indonesia yang telah ditetapkan tersebut, dalam penelitian ini rejim yang digunakan adalah rejim tentang pengendalian impor melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 600/PMK.010/2004 tentang tarif bea masuk gula putih ditetapkan menjadi sebesar Rp 790/kg dan gula mentah Rp 550/kg yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2005.
 
Pemilihan akan rejim yang digunakan dalam penilitian ini dengan maksud untuk meneliti peraturan atau rejim terbaru yang ditetapkan oleh pemerintah tentang industri pergulaan Indonesia dan melihat pengaruhnya terhadap produksi gula nasional di Indonesia. Penggunaan rejim tersebut dalam penelitian ini juga bertujuan untuk dapat membedakan penelitian ini dari penelitian-penelitian sebelumnya.
 
Kebijakan merupakan sebuah bentuk regulasi yang sangat mempengaruhi jumlah produksi gula. Pemerintah menetapkan kebijakan tarif bea masuk impor gula putih bertujuan untuk membatasi produk gula impor di pasar domestik. Kebijakan pemberlakuan tarif impor sangat penting untuk mengurangi masuknya gula impor ke dalam negeri dan menghidupkan kembali industri pergulaan domestik. Semakin rendah bea masuk masuk gula impor yang ditetapkan pemerintah maka akan semakin banyak gula impor masuk dan semakinrendahharga gula impor di pasar domestik yang mengakibatkan gula domestikkalah bersaing. Begitu pula jika semakin tinggi standar kebijakan yang ditetapkanpemerintah dalam menetapkan tarif bea masuk gula impor, maka gula impor akansemakin sedikit masuk ke pasar domestik dan harga gula impor tidak terlalumurah dibandingkan gula domestik. Hal ini mampu meningkatkan daya saing guladomestik.
 
Ketika daya saing gula domestik tinggi dan minat masyarakat semakintinggi membeli gula domestik, petani akan lebih merasa diuntungkan dan semakinmeningkatkan produksi gula yang dihasilkan. Semakin membaiknya kondisipergulaan tersebut maka akan semakin tinggi jumlah produksi gula yangdihasilkan.

3.3    Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Kenaikan Harga

    Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap harga domestik tetapi terhadap ketersediaan gula di Indonesia kebijakan ini tidak dipengaruhi secara langsung. Kebijakan tataniaga pengaruhnya lebih kepada produksi dan impor gula yang merupakan komponen dari ketersediaan gula nasional. Kebijakan tataniaga pada periode Bulog cenderung untuk stabilisasi (menekan impor dan harga domestic untuk menjaga stabilisasi harga). Kemudian kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas hanya berpengaruh terhadap harga domestik dengan korelasi negatif, sedangkan kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor berpengaruh positif baik terhadap produksi maupun harga gula domestik.
 
Penelitian terhadap peningkatan tarif impor gula terhadap pendapatan petani menyimpulkan bahwa deregulasi industri gula yang berlangsung sejak tahun 1998 telah menyebabkan penurunan luas area penanaman tebu dan produksi gula nasional, harga lelang gula petani lebih rendah dibandingkan dengan biaya pokok usaha tani tebu, penetapan tarif impor gula dalam kondisi harga gula dunia yang rendah dan nilai tukar rupiah yang makin menguat belum cukup merangsang petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu, serta untuk meningkatkan pendapatan petani tebu pemerintah melalui pabrik gula perlu menyediakan insentif berupa rendemen bagi petani dan insentif harga dengan menetapkan harga patokan terendah untuk setiap lelang gula.

BAB IV PENUTUP

4.1    Kesimpulan

  1. Impor gula dilakukan karena kurangnya persediaan gula produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan gula. Pemerintah melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan akan pangan (gula) dalam negeri.
  2. Dalam penetuan kebijakan tarif impor gula ini bertujuan untuk mengurangi masuknya gula impor ke dalam negeri dan menghidupkan kembali industri pergulaan domestik.
  3. Untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu dalam negeri.