Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Proses Istinbath al Hukmi melalui Bahtsul Masail sebagai Bagian dalam Berijtihad

Daftar Isi [Tampilkan]

Pengertian Istinbath Al-Hukmi 

Kata istinbath berasal dari kata "istanbatha" yang berarti "menemukan", "menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya". Sedangkan secara istilah, yang dimaksud istinbath adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur'an dan sunah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul. 

Pengertian istinbath identik dengan pengertian ijtihad. Istinbath hukum langsung dari sumber primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan kemampuan. Keterbatasan tersebut terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai. 

Masih ingatkah kalian syarat-syarat menjadi seorang mujtahid? Karena sangat ketatnya persyaratan menjadi mujtahid, maka tidak semua orang boleh berijtihad. 

Sementara itu, istinbath dalam pengertian yang kedua yaitu mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur'an dan Sunah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami kitab fiqih. 

Oleh karena itu, istilah istinbath dikalangan NU tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya, dipakai istilah bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah yang terjadi dengan menggunakan referensi kutub al fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqh). 

Dalam lembaga bathsul masa'il NU, istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU hal ini lebih dikonotasikan pada istikhraj alhukmmin al-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur'an dan sunah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan. Untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifaqhukum. 

Istinbath hukum ada dua macam, yaitu:

  1. Istinbath ala Thariqi al Lafzdiyyah adalah cara istinbath hukum berdasar pada teks yang tersurat dalam al-Qur'an dan Hadis atau pengambilan ketetapan hukum didasarkan pada redaksi yang ada. 
  2. Istinbath ala al Thariqi al Ma'nawiyah adalah istinbath hukum berdasar pada kesan-kesan nilai dan moral yang terkandung atau makna tersirat dalam nas (al-Qur'an dan al-Hadis). Pengambilan ketetapan hukum dilakukan setelah melakukan penafsiran-penafsiran terhadap teks yang ada, mengingat tidak secara tegas jawaban terhadap persoalan disebutkan dalam al Qur'an dan Hadis, 

Wahai anak shaleh, perlu kalian ketahui bahwa dalam kasus atau masalah yang sama sekali tidak ada pendapat dan tidak mungkin dilakukan ilhaqul masa'il, maka dilakukan pengambilan hukum secara kolektif (istinbath jama'i). Istinbath jama'i dilakukan dengan cara mengikuti jalan pikir atau kaedah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab.

Pengertian Bahtsul Masail

Secara harfiah Bahtsul Masail berarti pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan al-masa'ilud-diniyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan dengan al-masa'ilul-fiqhiyah (masalah-masalah fiqh). 

Dari perspektif ini al-masa'ilul-fiqhiyah termasuk masalah-masalah yang khilafiah (kontroversial) karena jawabannya bisa berbeda pendapat. 

Dalam memutuskan sebuah hukum, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masail. Forum ini dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum Bahtsul masa'il bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah ketauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat).

Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Apa saja masalah-masalah yang dibahas dalam forum Bahtsul masail? Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqiah) yang dialami oleh anggota masyarakat.

Masalah-masalah ini diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan untuk dibahas dan dicarikan solusi. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari Pengurus Besar ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar. 

Bahtsul masail akan menjawab permasalahan yang sedang berkembang untuk dicarikan solusi dari Sisi agama (masail diniyyah). NU mempunyai tiga Komisi Masail Diniyah:

  1. Masail Diniyah Waqi'iyah, yakni permasalahan kekinian yang menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana hukum orang Islam meresmikan gereja? 
  2. Masail Dinniyah Maudhu'iyah, yakni permasalahan yang menyangkut pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi.
  3. Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi 

Bahtsul masail NU merupakan forum yang sangat dinamis, sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Forum ini juga merupakan forum yang demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda, Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. 

Secara historis, forum Bahtsul masa'il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). 

Dalam buletin LINO, selain memuat hasil, Bahtsul masa'il juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, begitru seterusnya. 

Lembaga Bahtsul Masail NU

NU dalam stuktur organisasinya memiliki suatu Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan namanya, Bahtsul Masail, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah keagamaan.

Tugas LBM adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU. LBM merupakan forum diskusi alim ulama (Syuriah) dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa. Dan fatwa ini berfungsi sebagai bimbingan warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunah Waljamaah. 

K.H. Syansuri Badawi, salah seorang kiai NU, mengatakan bahwa ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Hadis. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi'i bahwa ijtihad itu qiyas. 

Ketika menghadapi masalah serius kekinian yang dimasa lalu peristiwa itu belum pernah terjadi, LBM selalu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada ahlinya. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab kuning. Walaupun LBM merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagi NU, namun masih ada kelemahan yang perlu diperhatikan: 

  1. Kelemahan yang bersifat teknis (kaifiyatul bathsi), yakni belum ada ketegasan yang bersifat jama'i mengenai pola bermahzhab antara manhaj dan qauli. 
  2. Kelemahan organisatoris, yakni belum terkondisikanya dan belum bakunya hirarki (martabat) keputusan Bahtsul masa'il yang diselenggarakan diberbagai tingkatan, mulai dari tingkat muktamar sampai tingkat ranting serta di pesantren-pesantren. 
  3. Kelemahan komitmen dan kesadaran untuk mensosialisasikan dan melakukannya secara baik hasil putusan Bahtsul masail. 

Metode Istinbath Hukum Islam di Lembaga Bahtsul Masail NU

Mekanisme kerja Lembaga Bahtsul Masail NU adalah semua masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada di bawah naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (klasik). 

Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argumen dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama. 

Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi'i, karena madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi'i tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan mahzab yang empat (Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi). 

Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu, namun kondisi masyarakat selalu dijadikan pertimbangan dalam penerapannya. 

Walui beberapa diskusi dan pembahasan diperkenalkan sebuah metode istinbath baru yang disebut metode manhaji. Maksudnya, dalam melakukan penetapan hukum dapat dilakukan dengan cara mengikuti jalan pikiran, kaidah atau metodologi yang dianut oleh seorang imam mazhab. 

Hal ini berbeda dengan metode sebelumnya, yaitu metode qauli yang mengambil ketetapan hukum didasarkan pada pendapat imam mazhab yang sudah secara tegas disebutkan dalam kitab-kitab yang muktabar. 

Metode istinbath manhaji ditetapkan sebagai metode yang digunakan dalam pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masa'il di lingkungan NU melalui Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung pada tanggal 16-20 Rajab 1412H/21-25 Januari 1992. Munas ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa saat ini dilakukan sebuah metode yang paling efektif dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang berkembang di tengah masyarakat dan tidak sekedar mendasarkan pada pendapat para imam yang sudah baku. 

Pengambilan keputusan bahtsul masail di lingkungan NU tetap mengutamakan metode qauli sebagai model pengambilan keputusan dan mengembangkan metode manhaji bagi persoalan-persoalan yang tidak secara jelas disebutkan dalam kitab-kitab yang muktabar. 

Selain itu, bahtsul masa'il juga telah mengalami perkembangan yang penting yaitu menyertakan para pakar dan ahli yang terkait dengan topik permasalahan dalam setiap pembahasan masalah, seperti ahli kedokteran, politik, ekonomi, dan sebagainyao Hal ini dilakukan mengingat banyak persoalan yang muncul tidak lagi terbatas pada persoalan keagamaan, akan tetapi sudah meluas ke masalah-masalah yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Penyertaan para pakar dan ahli di bidangnya ini sangat membantu dalam menjelaskan persoalan secara detail dan benar. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode bermazhab (penetapan Hukum) yang digunakan NU berdasarkan hasil Munas NU di Bandar Lampung pada tanggal 21-25 Januari 1992 yaitu dengan urutan sebagai berikut:

  1. Qauli artinya mengutip langsung dari naskah kitab rujukan
  2. Manhaji artinya menelusuri dan mengikuti metode istinbath hukum mahzab empat
  3. Ilhaqi artinya menganalogikakan hukum permasalahan tertentu yang belum ada dasar hukumnya dengan kasus serupa yang sudah ada dalam suatu kitab rujukan. 
  4. Istinbat Jama'i artinya penggalian dan penetapan hukum secara kolektif

Di samping itu metode ilhaqi kemudian yang dirumuskan dalam munas Bandar Lampung yang menyatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul-nya sama sekali maka dilakukan ilhaq secara kolektif (jama'i) oleh para ulama. Prosedur ilhaq harus dipenuhi oleh seorang mulhiq (pelaku ilhaq) adalah:

  1. mulhaq bih adalah permasalahan yang hendak disamakan, belum ada ketetapannya dalam kitab; 
  2. mulhaq 'alaih adalah permasalahan yang sudah ada ketetapan hukumnya, disandingkan terhadap permasalahan lain belum ada ketetapannya yang hendak disamakan; 
  3. wajh al-ilhaq adalah sisi keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq 'alaih. 

Beberapa pengamat menyebut metode ini dengan "qiyas versi NU” karena dalam praktiknya menggunakan prosedur yang mirip dengan qiyas. Namun ada perbedaan mencolok antara qiyas versi ushuliyyin dengan qiyas versi NU (ilhaq). 

Qiyas versi ushuliyyin menyamakan sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya dalam al-Quran maupun Hadis (ilhaq al-far'i bi al-ashli). Sedangkan ilhaq adalah menyamakan permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya secara tekstual dalam kitab dengan kasus yang sudah ada ketetapannya dalam kitab. 

Pertanyaan yang muncul kepermukaan adalah apakah metode ilhaq ini legal? Mengingat adanya kemungkinan besar bahwa Bahtsul Masail akan "terperangkap’’ dalam upaya menyamakan cabangan hukum dengan cabangan hukum yang lain (ilhaq al-far'i bi al-far'i). Dan, kemungkinan ini akan benar-benar terjadi jika mulhaq 'alaih ternyata adalah hasil qiyas. 

1. Tata cara Menjawab Masalah

Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati. Oleh karena itu, tata cara menjawab masalah dan menetapkan hukum disusun dalam urutan sebagai berikut: 

  1. Setiap masalah harus ditegaskan secara jelas agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran tentang duduk persoalannya.
  2. Dalam mencari sumber dan rujukan hukum, pertama kali harus melihat pada al-Qur'an dan Hadis. 
  3. Permasalahan yang tidak secara tegas dijelaskan oleh al-Quran dan Hadis, hendaknya merujuk kepada kitab-kitab yang muktabar menurut mazhab fikih yang empat. 
  4. Permasalahan yang bisa dijawab dengan teks (kitab) dan di sana terdapat satu pendapat saja, maka dipakailah pendapat tersebut sebagaimana diterangkan oleh redaksi atau teks kitab itu. 
  5. Permasalahan yang bisa dijawab dengan redaksi dalam teks, tetapi di sana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jamai atau upaya kolektif untuk menetapkan satu pilihan dari beberapa pendapat yang ada.
  6. Dalam kasus tidak ada pendapat sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan ilhaqul masa'il atau menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan persoalan serupa yang telah ada. 
  7. Dalam kasus atau masalah yang sama sekali tidak ada pendapat dan tidak mungkin dilakukan ilhaqul masa'il, maka dilakukan pengambilan hukum secara kolektif (istinbat jama'i) dengan cara mengikuti jalan pikir atau kaedah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. 
  8. Dalam kasus ketika bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana yang diterangkan dalam ibarat tersebut. 
  9. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama'i untuk memilih satu qaul. 

Melihat prosedur yang dijalankan dalam penetapan hukum di atas menunjukkan bahwa bahtsul masa'il telah menjadi wahana yang efektif dan akurat dalam memberikan jawaban di setiap persoalan yang ada. 

Keabsahan keputusan hukum yang dihasilkan benar-benar mencerminkan sumber yang benar dan jelas sesuai dengan urutan sumber hukum Islam, yaitu Alquran, Alhadis, kesepakatan ulama, dan qiyas. 

Proses pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan mengambil pendapat yang lebih mashlahat atau yang lebih rajih (kuat); sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:

  • pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhan (Imam An-Aawawi dan Rafi'i); 
  • pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja; 
  • pendapat yang dipegang oleh al-Rafi'i saja; 
  • pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama; 
  • pendapat ulama yang terpandai; dan 
  • pendapat ulama yang paling wara' (berhati-hati terhadap hukum) 
  • Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur Ilhaq (menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang ada dalam kitab). 
  • Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali dan tidak mungkin dilakukan Iihaq, maka bisa dilakukan Istinbath jama'i dengan prosedur bermazhab secara manhaj. 

2. Analisis Masalah

Mengunakan kerangka pembahasan masalah: 

  • Analisa masalah (sebab mengapa terjadinya kasus ditinjau dari berbagai faktor baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dll) 
  • Analisa dampak positif dan negatif dari berbagai aspek 
  • Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus) setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang. Keputusan ini mempertimbangkan : 
    • Status hukum (al-ahkam al-khamsah) 
    • Dasar dari ajaran Ahlussunnah waljama'ah 
    • Hukum positif (hukum Negara yang berlaku saat ini) 
  • Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi fatwa diatas).

3. Keputusan Bahtsul Masail

  • Setiap keputusan Bahtsul masail harus mengandung unsur bisa dipahami dan dituju secara langsung oleh orang awam 
  • Setiap keputusan sedapat mungkin dengan analisis masalah yang menerangkan rincian persoalan dan pemecahan dengan bobot ilmiah yang memadai. Mempergunakan kerangka analisis yang melengkapi tinjauan dari berbagai sudut pandang.
  • setiap keputusan harus disertai ma'hudznya dan sedapat mungkin dilengkapi dengan dalil 
  • setiap keputusan disertai rumusan tentang tindaklanjut, rekomendasi dan jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari keputusan yang telah ditetapkan. 

Contoh Hasil Keputusan Bahtsul Masail

Berikut adalah cqntoh keputusan bahtsul masail yang dilakukan oleh NU: 

Pertanyaan:

Apa hukumnya menjual buah nanas kepada orang Tiongkok yang akan dipakai untuk sembahyang? 

Jawaban :

Hukum menjual barang yang diyakini atau dhon (persangkaan kuat) akan dipakai untuk kemaksiatan hukumnya haram, dan jika orang yang menjualnya ragu apakah barang tersebut akan digunakan untuk kemaksiatan atau tidak, maka hukum penjualannya makruh. Alasan dari hukum keharaman dan kemakruhan jual beli tersebut dikarenakan menjual barang tersebut karena hal tersebut sama saja dengan membantu berlangsungnya suatu kemaksiatan.

Hukum di atas bukan hanya berlaku bagi orang Islam, namun juga berlaku ketika jual belinya dengan orang kafir, hal ini berdasarkan pendapat ashoh dalam madzhab syafi'i yang menyatakan bahwa orang kafir juga dikhithobi dengan furu' syari’at (cabang-cabang hukum agama islam), meskipun kita tidak boleh melarang mereka, karena itulah hukum menjual buah-bauhan bagi orang kafir yang akan dipergunakan saat ritual ibadah mereka hukumnya juga dirinci sebagaimana ketentuan di atas (bisa jadi haram dan bisa juga hukumnya makruh), seperti halnya tidak diperbolehkan menjual makanan yang akan dimakan pada siang hari saat kaum muslimin sedang berpuasa pada bulan Ramadhan dan tidak diperbolehkannya menjual minyak wangi yang akan digunakan untuk mengharumkan berhala-berhala orang kafir. 

Meskipun hukumnya adakalanya haram dan adakalanya makruh, namun akad jual belinya tetap sah jika sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam akad jual beli. Dalilnya adalah firman Allah Swt: 

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ

Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan... (QS Al-Ma'idah/ 5 ayat 2 ). 

Dan sabda Nabi Artinya: 'Dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat sepuluh orang yang berkenaan dengan khamr; Orang yang memeras, yang meminta diperaskan, Peminum, pembawanya, yang dibawakan untuknya, penuangnya, penjual, yang memakan hasilnya, pembelinya dan yang minta dibelikan." (Sunan Tirmidzi no 1216) 

Meskipun hadis ini hanya menyebutkan penjualan khamr, namun ketentuan hukum ini berlaku untuk semua jual beli yang mengarah pada kemaksiatan, 

Referensi: 

  1. Fathul Mu'in, Hal : 326 
  2. Ilanatut Tholibin, Juz : 3 Hal : 330 
  3. Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 2 Hal : 224 
  4. Fathul Wahab, Juz: 1 Hal : 197 
  5. Hasyiyah Al-Jamal, Juz : 3 Hal : 93 

Kesimpulan

Istinbath al hukmi adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al quran dan sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul

Istinbath hukum ada dua macam yaitu istinbath ala thariqi al lafzdiyyah dan Istinbat ala al Thariqi al Ma'nawiyah 

Bahtsul Masa'il adalah pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan al-masa'ilud-diniyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan dengan al-masa'ilul-fiqhiyah (masalah-masalah fiqh). 

Lembaga Bahtsul Masa'il NU berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah keagamaan. 

Seluruh keputusan bahtsul masa'il di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati, yaitu Syafi'i, Malikii Hambali dan Hanafi. 

Pada umumnya, rujukan bahtsul masa'il mengikuti pendapat Imam Syafi'i. Jika pendapat Imam Syafi'i tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang empat (syaffi, Maliki, Hambali dan Hanafi).