Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia : Jalur Masuk, Strategi dan Fase Perkembangan

Daftar Isi [Tampilkan]

Sebelum kedatangan Islam, bangsa Indonesia sudah menganut berbagai macam kepercayaan, seperti animisme (kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami benda- benda seperti pohon, batu, sungai, gunung) dan dinamisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup), dan lain-lain. Kepercayaan ini sangat kuat dan mengakar di hati masyarakat Indonesia.

Disepakati bahwa agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera, selanjutnya penyiaran agama Islam berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara. Ketika kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam. Sementara itu, berkat dukungan kerajaan-kerajaan serta upaya gigih dari para ulama, akhirnya Islam sampai ke tanah Jawa.

Proses masuknya Islam ke Indonesia sampai sekarang masih dalam perdebatan panjang. Tiga fokus pembicaraan mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada 3 (tiga) tema utama, yakni seputar tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini terdapat perdebatan panjang di antara para ahli sejarah. Berikut ini akan dijelaskan beberapa teori yang popular tentang masuknya Islam ke Indonesia.

Teori yang pertama dikenal dengan teori Gujarat, yang kedua dikenal dengan teori Arab, yang ketiga dikenal dengan teori Persia dan yang keempat adalah teori China. Masing-masing teori memberikan alasan dan argumentasi berbeda. Namun demikian, antara satu teori dengan teori lainnya tidak menimbulkan satu pertentangan yang berarti, akan tetapi bisa saling melengkapi dan memperkaya pengetahuan sejarah bangsa kita.

Jalur Masuknya Islam di Indonesia

1. Teori Gujarat

Teori ini dipopulerkan oleh seorang orientalis Belanda yang meneliti tentang Islam di Indonesia bernama Snouck Hurgronje. la menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Cambay, Gujarat, India. Memang sebagian besar Sejarahwan asal Belanda, memegang teori bahwa Islam di Indonesia berasal dari Anak Benua India.

Salah seorang ilmuwan Barat tersebut adalah Pijnappel yang mengkaitkan asal mula Islam di Indonesia dengan daerah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, orang-orang Arab bermadzhab Syafi'i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India yang membawa Islam ke Nusantara. 

Snouck Hurgronje kemudian mengembangkan teori ini, dia berpendapat bahwa ketika Islam tiba di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, banyak di antara penduduknya yang beragama Islam dan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. 

Lalu mereka datang ke dunia Melayu (Indonesia) sebagai para penyebar Islam pertama, setelah itu disusul oleh orang-orang Arab. Dia mengatakan bahwa abad ke12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. 

Jan Pijnappel adalah seorang orientalis dari Universitas Leiden Belanda yang fokus pada manuskrip Melayu. Orientalis yang wafat tahun 1901 itu menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara lewat pedagang dari Gujarat. 

Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab juga.

Selain Snouck Hurgronje dan Pijnappel, masih ada beberapa Sejarahwan Belanda yang sepakat bahwa Islam di Nusantara datang dari Gujarat, dengan alasan bahwa batu nisan makam Raja Malik al-Saleh yang merupakan raja kerajaan Samudera Pasai, Aceh, bertuliskan angka tahun 686H/1297 M dengan menggunakan nisan yang berasal dari Gujarat, India. 

Selain itu batu nisan yang terdapat di makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga menunjukkan hal yang sama. Kedua batu nisan tersebut memiliki persamaan bentuk dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat, India. Dengan beberapa alasan tersebut mereka meyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India.

2. Teori Arab

Teori Arab dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia secara langsung dari Arab, tidak melalui perantara bangsa lain. Beberapa bukti sejarah dikemukakan untuk menguatkan teori ini. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Makkah (Arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7.

Salah satu Sejarahwan yang mendukung teori ini ialah Prof. Hamka. Dia menyatakan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke 7-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur perdagangan yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di China (Asia timur), Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat. 

Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai-nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh Masehi.

Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M, berdasarkan sebuah naskah Tiongkok yang dicatat oleh Pendeta Budha I-Tsing yang melakukan perjalanan dari Canton menuju India. Perjalanan tersebut menggunakan kapal Posse, dan pada tahun 674M ia singgah di Bhoga (yang sekarang dikenal dengan Palembang, Sumatera Selatan). 

Di Bhoga ia menemukan sekelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus). Sebagian orang-orang Arab ini diceritakan melakukan perkawinan dengan wanita lokal. Komunitas Arab ini disebutnya sebagai komunitas TaShih dan Posse. Mereka adalah para pedagang yang telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya. Karena demi hubungan perdagangan itulah kemudian kerajaan Sriwijaya memberikan daerah khusus untuk mereka.

Selain Hamka, Thomas W Arnold juga berpandangan bahwa, para pedagang Arab telah menyebarkan Islam ketika mereka menjadi pemain dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan 8 Masehi. Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, namun ia berasumsi bahwa mereka juga terlibat dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Indonesia.

Selain kedua tokoh tersebut, beberapa tokoh Sejarahwan lain juga mendukung teori ini, antara lain Uka Tjandrasasmita, A. Hasymi, Azyumardi Azra dan lain-lain. Selain informasi tersebut, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa ditemukannya adaptasi-adaptasi lain yang dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah atas pengaruh bangsa Arab ini. Misalnya dari segi bahasa dan tradisi, seperti pada kata dan tradisi bersila yang sering dilakukan oleh bangsa Indonesia yang merupakan tradisi yang dilakukan oleh bangsa Arab atau Persia yang egaliter.

Disamping alasan di atas, makam Fatimah Binti Maimun di Leran Jawa Timur semakin menguatkan teori ini. Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, dan berikut ini adalah hasil bacaan Jean Piere Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin terhadap tulisan pada batu nisan tersebut:

  • Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah
  • Tiaptiap makhluk yang hidup di atas bumi itu bersifat fana
  • Tetapi wajah Tuhanmu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya
  • Inilah kuburan wanita yang menjadi syahid bernama Fatimah binti Maimun
  • Putera Hibatu'llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh
  • Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495
  • Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi
  • Bersama pula Rasulnya Mulia

Selain argument di atas, Azyumardi menjelaskan lebih lanjut tentang masuknya Islam ke Nusantara. Menurut Azyumardi, Islam datang di Nusantara pada abad ke-7 M, namun baru dianut secara terbatas oleh para pedagang Arab yang berdagang di Nusantara, dan baru mulai tersebar dan dianut oleh masyarakat Nusantara pada abad ke-12, yang disebarkan oleh para sufi pengembara yang berasal dari Arab. 

Alasan ini dikuatkan oleh corak Islam awal yang dianut oleh masyarakat Nusantara adalah Islam bercorak sufistik, karena pada masa al-Ghazali (Dinasti Abbasiyah) muncul sufi-sufi pengembara yang bertujuan untuk menyebarkan Islam tanpa pamrih, maka sufi-sufi inilah yang disinyalir datang dan menyebarkan Islam di Nusantara.

3. Teori Persia

Pencetus teori Persia ini adalah Hoesein Djajaningrat. Teori Persia lebih menitik beratkan tinjauannya pada aspek kebudayaan yang hidup dikalangan masyarakat Islam Indonesia yang dianggap mempunyai persamaan dengan Persia, antaranya:

Adanya peringatan 10 Muharram atau ‘Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad yang sangat dijunjung oleh kaum muslim Syiah dan Iran (Persia). Di Sumatra Barat, peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan Bubur Syuro.

  • Adanya kesamaan konsep ajaran sufisme yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan Al-Hallaj, seorang sufi besar dari Persia.
  • Penggunaan istilah Bahasa Iran (Persia) dalam system mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.
  • Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
  • Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri, daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu pendukung teori ini, yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Djayadiningrat.

Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).

4. Teori China

Menurut teori China, proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau China. Menurut teori ini, orang China telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. 

Pada masa Hindu-Buddha, etnis China atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di China pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto al-Qurtuby dalam bukunya Arus China lslam Jawa menyatakan, menurut kronik (sumber luar negeri) pada masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dan pesisir China bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.

Teori China didasarkan pada sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat). Bahkan menurut sejumlah sumber lokal tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Fatah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan China. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, China bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). 

Berdasarkan Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja- raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah China, seperti "Cek Ko Po", "Jin Bun", "Cek Ban Cun", "Cun Ceh", serta "CuCu". Nama-nama seperti "Munggul" dan "Moechoel" ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara China yang berbatasan dengan Rusia. 

Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas China di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan China, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang China.

Daerah yang mula-mula menerima agama Islam adalah Pantai Barat pulau Sumatera. Dari tempat itu, Islam kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Beberapa tempat penyebarannya adalah:

  1. Pesisir Sumatera bagian utara di Aceh
  2. Pariaman di Sumatera Barat
  3. Gresik dan Tuban di Jawa Timur
  4. Demak di Jawa Tengah
  5. Banten di Jawa Barat
  6. Palembang di Sumatera Selatan 
  7. Banjar di Kalimantan Selatan
  8. Makassar di Sulawesi Selatan
  9. Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo di Maluku
  10. Sorong di Irian Jaya

Pada dasarnya semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing- masing teori tersebut. Menurut Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia datang dalam kompleksitas, artinya tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.

Strategi Dakwah Islam di Indonesia

Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa Islam datang ke Indonesia secara berangsur-angsur dan tidak sekaligus. Pada uraian ini akan dijelaskan mengenai strategi dakwah dan perkembangan Islam di Indonesia. Yang pasti Islam masuk ke Indonesia bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. 

Islam berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif berkat kegigihan para ulama. Paling tidak terdapat beberapa cara yang dipergunakan dalam penyebaran Islam di Indonesia, seperti perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian atau budaya dan tasawuf.

1. Perdagangan

Berdasarkan data sejarah, perdagangan merupakan media dakwah yang paling banyak dilakukan oleh para penyebar Islam di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari adanya kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke 7 M hingga ke 16 M. Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang Melayu telah lama menjalin kontak dagang dengan Malaka orang dan kerajaan Arab.

Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramai para ulama dan pedagang Arab dating ke Nusantara (Indonesia). Disamping berdagang mereka juga menyiarkan agama Islam. 

Fakta sejarah ini dapat diketahui berdasarkan data dan informasi yang dicatat oleh Tome'Pires, bahwa seorang musafir asal Portugis menceritakan tentang penyebaran Islam antara tahun 1512 sampai tahun 1515 Masehi yang meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku.

Ia juga menyatakan bahwa pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang ketika itu masih penganut Hindu dan Budha maupun animisme dan dinamisme. Para penyebar agama Islam berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan para ahli agama dari luar sehingga jumlah mereka semakin bertambah banyak.

Di beberapa tempat, para bupati yang ditugaskan di daerah pesisir oleh kerajaan Majapahit banyak yang kemudian memeluk Islam. Para bupati tersebut memeluk Islam bukan hanya karena faktor politik yang sedang tidak stabil di pusat kekuasaan Majapahit, namun juga karena faktor hubungan ekonomi yang baik dengan para pedagang muslim. 

Hubungan dagang yang baik akhirnya memberikan kekuatan secara ekonomi bagi para saudagar muslim dan mengukuhkan kebaradaan mereka sebagai mitra para bupati dan penduduk setempat. Kekuatan ini memberikan pengaruh secara sosial maupun psikologis yang dengan sendirinya memudahkan agama Islam dapat diterima oleh para bupati dan penduduk setempat. Karena pada saat itu, hampir semua jalur strategis perdagangan internasional dikuasai oleh para pedagang muslim, maka mau tidak mau jika para bupati ingin memajukan daerahnya dari segi pembangunan ekonomi maka ia harus bekerjasama dengan para pedagang muslim.

2. Perkawinan

Proses penyebaran Islam di Indonesia juga banyak dilakukan melalui pernikahan antara para pedagang muslim dengan wanita Indonesia. Jalur perdagangan internasional yang dikuasai oleh para pedagang muslim menjadikan para pedagang Islam memiliki kelebihan secara ekonomi. 

Para pedagang muslim yang tertarik dengan wanita-wanita Indonesia yang ingin menikah mensyaratkan agar para wanita tersebut harus memeluk Islam sebagai prasyarat dalam sebuah pernikahan. 

Karena dalam Islam tidak diperbolehkan pernikahan dengan orang yang berbeda agama, dan para penduduk lokal pun tidak keberatan dengan prasyarat tersebut. Melalui pernikahan ini tidak hanya menjadikan penganut agama Islam semakin banyak, namun juga semakin mengukuhkan generasi-generasi Islam di Indonesia. 

Apalagi jika pernikahan terjadi antara keluarga bangsawan dengan keluarga saudagar muslim, tentu akan semakin menguatkan posisi tawar mereka di masyarakat. Dari pernikahan ini kemdian terbentuklah komunitas-komunitas muslim di Indonesia. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan adalah pernikahan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila dan Raja Brawijaya V dengan Putri Campa, dan lain-lain.

3. Pendidikan

Proses masuknya Islam juga dilakukan melalui jalur pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan lembaga pendidikan Islam. Di lembaga pendidikan inilah para ulama semakin menguatkan posisi agama Islam dengan pengajaran-pengajaran keislaman. 

Salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi ciri awal penyebaran Islam adalah pesantren. Istilah pesantren digunakan untuk menunjukkan lembaga pendidikan yang banyak digunakan oleh ulama di Jawa dan Madura, sementara di Aceh dikenal dengan nama "dayah" dan di Minangkabau dikenal dengan istilah "Surau". 

Awalnya, pesantren (dayah/surau) adalah tempat kegiatan keagamaan yang kemudian berkembang menjadi suatu lembaga tempat kegiatan pendidikan. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel, salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat pendidikan di Aceh, Palembang (Sumatera), Jawa Timur dan Gowa (Sulawesi), pesantren atau dayah telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan penting dan menarik bagi santri untuk belajar.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren tidak mengenal perbedaan status sosial antara yang satu dengan lainnya, sehingga semua orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. 

Hal inilah yang menjadi kelebihan pesantren (dayah/surau) yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu dapat diakses oleh siapapun, karena dalam ajaran Islam menuntut ilmu adalah suatu kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan semakin banyaknya penganut agama Hindu dan Budha yang belajar di pesantren (dayah/surau), hal itu semakin meningkatkan jumlah masyarakat yang memeluk Islam. Dari situ kita juga memahami bahwa posisi pesantren (dayah/surau) sejak awal Islam masuk ke Indonesia telah memainkan peran yang penting dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di antara lembaga pendidikan pesantren yang tumbuh pada masa awal Islam adalah Pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta, Surabaya, dan Pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri yang popularitasnya melampaui batas pulau Jawa hingga Maluku. 

Bahkan menurut catatan sejarah, Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah diundang ke Maluku untuk memberikan pelajaran agama Islam. Banyak dari mereka yang menjadi guru, khatib (pengkhutbah), hakim (qadli) bahkan muadzin di Maluku. Dengan cara-cara pendidikan tersebut agama Islam terus meluas ke seluruh penjuru nusantara.

4. Tasawuf

Para pelaku tasawuf atau sufi umumnya adalah pengembara. Mereka dengan sukarela mengajar penduduk lokal tentang berbagai hal. Mereka juga sangat memahami persoalan para penduduk lokal dari berbagai sisi. 

Para sufi memiliki sifat dan budi pekerti yang luhur sehingga memudahkan mereka bergaul dan memahami masyarakat. Mereka memahami problem kemiskinan dan keterbelakangan sekaligus juga memahami kesehatan spiritual masyarakat. Mereka juga memahami hal magis yang digandrungi masyarakat penganut paham animisme dan dinamisme kala itu. 

Hal ini menjadikan para sufi mampu melihat celah yang dapat dimasuki ajaran-ajaran Islam. Dengan tasawuf, bentuk ajaran Islam yang disampaikan kepada penduduk pribumi dapat dengan mudah masuk ke alam pikiran mereka. Di antara para sufi yang memberikan ajaran Islam kepada masyarakat adalah Hamzah Fansury dari Aceh, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung dari Jawa.

5. Kesenian dan Budaya

Para tokoh penyebar Islam mengajarkan Islam menurut bahasa dan adat istiadat masyarakat setempat. Sebagian besar nama-nama mereka telah melegenda, seperti Walisongo

Penyebaran Islam melalui kesenian atau budaya termasuk yang paling banyak mempengaruhi masyarakat, seperti wayang, sastra, dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan para penyebar Islam untuk menarik perhatian masyarakat, sehingga tanpa terasa mereka pun tertarik pada ajaranajaran Islam. 

Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. la tidak pernah meminta bayaran dalam pertunjukan seni-nya, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Meski sebagian cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. 

Selain wayang, bentuk kesenian lain yang dijadikan media islamisasi adalah sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni arsitektur (seperi terlihat pada bentuk masjid-masjid peninggalan para ulama atau Wali Songo), dan seni ukir yang banyak terdapat di kediaman atau masjid-masjid peninggalan para Wali.

Fase Perkembangan Islam di Indonesia

1. Masa Kesultanan

Di wilayah yang sedikit sekali tersentuh kebudayaan Hindu-Budha, seperti di daerah- daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera, di Banten dan Jawa, ajaran Islam berhasil mempengaruhi kehidupan sosial dan politik para penganutnya sehingga di daerah- daerah tersebut agama Islam dapat menampilkan diri dalam berbagai bentuk.

Di kerajaan Banjar, dengan masuknya sang raja ke dalam agama Islam, perkembangan Islam menjadi semakin mudah karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lain, hingga membawa masyarakat Banjar kepada kehidupan yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi (hakim) atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. 

Di kerajaan ini, telah dilakukan pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum Islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol, bahkan berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. 

Termasuk di Jawa,guna memadukan penyebaran agama Islam di pulau Jawa, maka dilakukan berbagai upaya agar Islam dan tradisi Jawa dapat bersinergi satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid-masjid sebagai pusat pendidikan Islam.

Dengan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam proses penyebaran Islam tersebut, para petinggi dan penguasa kerajaan semakin tertarik memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari'at Islam ke wilayah kerajaannya, maka rakyat pun akan serta merta turut masuk agama tersebut dan melaksanakan ajarannya. 

Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimana yang terjadi di kerajaan Mataram ketika dipimpin oleh Sultan Agung. Saat Sultan Agung memeluk ajaran Islam, kerajaan-kerajaan yg ada di bawah kekuasaan Mataram pun ikut pula masuk Islam.

2. Masa Penjajahan

Ditengah proses transformasi sosial yang relatif damai antara penyebar agama Islam dengan para penguasa dan masyarakat lokal, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu Portugis, kemudian Spanyol, disusul Belanda dan Inggris. 

Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalin hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. 

Dan sejak kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijakan mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:

  • Bidang agama murni atau ibadah; 
  • Bidang sosial kemasyarakatan; dan 
  • Politik.

Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial Belanda memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.

Adapun dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi pemberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie, yang maksudnya adalah: hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.

Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.

3. Pergerakan dan Organisasi Islam

Akibat dari "resep politik Islam" Snouck Hurgronje, menjelang permulaan abad XX umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga macam perlakuan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide et impera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.

Namun ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.

Akibat dari situasi ini, timbul perkumpulan-perkumpulan politik baru dan pemikir- pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam organisasi Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islam yang dapat masuk dalam organisasi tersebut, maka para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan.

Persaingan antar organisasi dan partai-partai politik saat itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri, dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu di kalangan kaum muslim terdapat dua kubu: para cendekiawan muslim yang berpendidikan Barat, dan para kiai serta ulama tradisional.

Selama pendudukan Jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslim dari pada kelompok nasionalis, karena mereka berusaha menggunakan doktrin-doktrin agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perangkat politik yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang dianggap menguntungkan kaum muslim, yaitu:

  1. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi pada zaman Belanda.
  2. Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943.
  3. Hizbullah, semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslim NU yang dipimpin oleh Zainul Arifin.

Perkembangan Islam di Wilayah-Wilayah Nusantara

1. Perkembangan Islam di Sumatera

Sejak abad ke-7 M, kawasan Asia Tenggara telah bersentuhan dengan tradisi Islam. Ini terjadi karena para pedagang muslim, yang berlayar di kawasan ini, singgah untuk beberapa waktu. Di Indonesia, kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan bukti adanya makam Sultan Malik al Saleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. 

Pada makam tersebut tertulis bahwa ia wafat pada bulan Ramadhan tahun 696 H/1297 M. Dalam Hikayat Rajaraja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua Malik al-Saleh digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudera Pasai.

Untuk menjustifikasi teori ini, Moquette membandingkan data di atas dengan data historis yang lain, yaitu catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada tahun 1292 M. Selama berlangsungnya proses Islamisasi, persentuhan pedagang muslim dengan penduduk setempat telah terjalin sangat intens hingga sebuah kerajaan Islam berdiri pada abad ke-13 M, yakni kerajaan Samudera Pasai. 

Berdirinya kerajaan tersebut bisa dihubungkan dengan lemahnya kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 M, sebagaimana dituturkan oleh Chou-Chu-Fei dalam catatan Ling Wa TaiTa (1178 M). (Tjandrasasmita, 13-14).

Berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M merupakan bukti masuknya Islam di Sumatera. Selain kerajaan Samudera Pasai, ada kerajaan Perlak dan kerajaan Aceh. Pada tahun 1978, peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Nasional Indonesia telah menemukan sejumlah batu nisan di situs Tuanku Batu Badan di Barus. 

Yang terpenting dari temuan itu adalah makam yang mencantumkan sebuah nama, yaitu Tuhar Amsuri, yang meninggal pada 19 Shafar 602 H, sebagaimana ditafsirkan oleh Ahmad Cholid Sodrie dari Pusat Riset Arkeologi Nasional. 

Tapi ada juga penafsiran lain yang mengemukakan bahwa Tuhar Amsuri meninggal pada 19 Shafar 972. Dari temuan arkeologis di Barus itu, dapat dikatakan bahwa usia batu nisan Tuhar Amsuri yang tertanggal 602 adalah lebih awal dari batu nisan Sultan Malik As-Salih yang tertanggal 696 H. 

Ini berarti, jauh sebelum kerajaan Samudera Pasai, sudah ada masyarakat muslim yang tinggal di Barus, salah satu tempat di sekitar pantai barat Sumatera (Tjandrasasmita, 15-16).

2. Perkembangan Islam di Kalimantan

Penduduk asli Pulau Kalimantan disebut masyarakat Dayak. Orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan terdiri atas beberapa suku. Masing-masing suku mempunyai sistem kepercayaan sendiri. Tetapi pada dasarnya antar kepercayaan mereka itu mempunyai banyak persamaan. Istilah paling populer untuk menyebut aliran kepercayaan mereka adalah kepercayaan Kaharingan.

Penduduk asli Kalimantan pada proses selanjutnya banyak yang terdesak ke arah pedalaman akibat masuknya masyarakat lain dari luar. Di arah pesisir barat terdesak oleh orang-orang Melayu dan China; di bagian selatan terdesak oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa; dan di bagian tenggara terdesak oleh orang-orang Bugis, Makasar dan Sulu. Masyarakat Dayak yang mendiami daerah-daerah pedalaman Kalimantan tersebut dapat dibagi atas 7 macam suku, yakni:

  1. Suku Dayak Kenya dan Bahau yang mendiami pedalaman Mahakam.
  2. Suku Dayak Punan, yang mendiami pedalaman daerah Berau.
  3. Suku Dayak Siang, yang mendiami pedalaman Barito Hulu.
  4. Suku Dayak Kayan, yang mendiami perbatasan Serawak.
  5. Suku Dayak Iban dan Kalimantan, yang mendiami pedalaman Kalimantan barat dan utara.
  6. Suku Dayak Ngaju, yang mendiami pedalaman Kapuas, dengan suku-suku kecilnya, yakni: Dayak Lawangan, yang mendiami pedalaman Barito Timur: Dayak Manyan, yang mendiami pedalaman Balangan dan Barito Selatan; Dayak Ot Danum, yang mendiami pedalaman Tumbang Siang, Tumbang Miri, Tumbang Lahang dan sekitarnya.

Munculnya suku Banjar pada tahap selanjutnya, yang mendiami daerah Kalimantan Selatan, adalah keturunan yang lahir dari percampuran orang-orang Melayu dan Jawa serta Olo (orang) Ngaju yang telah bercampur dan menikah selama beberapa generasi di daerah tersebut. Percampuran itu ditambah lagi dengan pendatang lain seperti orang- orang Bugis, China, India dan Arab.

Unsur-unsur animisme, dinamisme, dan spiritisme atau daemonisme yang terdapat dalam kepercayaan Kaharingan, merupakan unsur-unsur yang ternyata masih berpengaruh dalam tradisi kehidupan masyarakat orang Banjar kemudian. Orang Banjar pada umumnya menjunjung tinggi ajaran Islam, tetapi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ibadah dan amaliyah masih banyak yang belum dapat melepaskan diri dari tradisi-tradisi kepercayaan dan agama yang berkembang sebelumnya.

Memasuki abad ke 17, Banjarmasin menjadi bandar perdagangan yang ramai. Hal ini terjadi karena adanya tindakan Kerajaan Mataram yang menyerang dan menghancurkan kota-kota di pantai utara Jawa, sehingga para pedagang pindah secara besar-besaran ke Makasar dan Banjarmasin. Sejak saat itu mulai terjadi perubahan jalan dagang ke Maluku melalui Makasar, Kalimantan Selatan, Patani dan China, atau dari Makasar dan Banten ke India. 

Orang Banjar pada waktu itu sudah banyak yang melakukan pelayaran berdagang ke luar daerah. Tradisi berlayar ini memberikan kemungkinan kepada orang Banjar untuk melakukan ibadah haji ke Makkah dengan menggunakan kapal-kapal sendiri.

Mereka yang pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah biasanya tinggal beberapa tahun di sana sambil belajar agama Islam. Mereka kemudian pulang dengan membawa pengetahuan dan kitab-kitab dari Makkah. Semakin banyak orang Banjar yang datang dari Makkah semakin banyak pandangan-pandangan baru yang masuk ke daerah ini.

Namun demikian, sampai dengan awal abad ke-18 nilai-nilai baru yang masuk bersama orang-orang Banjar yang datang dari Mekah tersebut tidak banyak nampak di masyarakat. Usaha penyebaran agama Islam yang bersumber langsung dari Makkah tersebut baru dimulai pada pertengahan abad ke-18, yakni oleh seorang ulama kelahiran Martapura yang lebih dari 30 tahun memperdalam ilmu agama di Makkah dan Madinah, yakni Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

3. Perkembangan Islam di Sulawesi

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, telah sejak lama terjalin hubungan satu sama lain, baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantarkan aktivitas dakwah dapat menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.

Menurut catatan perusahaan dagang Portugis yang datang pada tahun 1540, saat mereka datang ke Sulawesi di pulau itu sudah bisa ditemui pemukiman muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa di Makassar.

Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaudin al-Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir, Karaeng Matopa, pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayah Sultan Alaudin yang bernama Tonigallo dari Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.

Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaudin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar Datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar. 

Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa pada proses selanjutnya berhasil melanjutkan dakwah hingga ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanete, Luwu dan Palopo.

4. Perkembangan Islam di Maluku

Kepulauan Maluku yang terkenal kaya dengan hasil bumi yang melimpah membuat wilayah ini sejak zaman dulu dikenal dan dikunjungi para pedagang dari seantero dunia. Karena status itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-kepulauan lainnya.

Kerajaan Ternate adalah kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini sejak tahun 1440. Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun 1512, raja Ternate adalah seorang muslim, yakni Bayang Ullah. 

Kerajaan lain yang juga menjadi representasi Islam di kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah teritorialnya cukup luas meliputi sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram. Ada pula Kerajaan Bacan. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainul Abidin yang bersyahadat pada tahun 1521. 

Di tahun yang sama berdiri pula Kerajaan Jailolo yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.

5. Perkembangan Islam di Papua

Beberapa kerajaan di kepulauan Maluku yang wilayah teritorialnya sampai ke pulau Papua menjadikan Islam masuk pula di pulau Cendrawasih ini. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool, dan beberapa daerah lain yang di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan. 

Pada periode ini pula, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala suku di pulau Papua memeluk Islam. Namun dibanding wilayah lain, perkembangan Islam di Papua ini bisa dibilang tak terlalu besar.

6. Perkembangan Islam di Nusa Tenggara

Islam masuk ke wilayah Nusa Tenggara bisa dibilang sejak awal abad ke-16. Hubungan Sumbawa yang baik dengan Kerajaan Makasar membuat Islam turut berlayar pula ke Nusa Tenggara. Sampai kini jejak Islam bisa dilacak dengan meneliti maka seorang mubaligh asal Makasar yang terletak di kota Bima. Begitu juga dengan makam Sultan Bima yang pertama kali memeluk Islam. 

Bisa disebut, seluruh penduduk Bima adalah para muslim sejak semula. Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke Lombok. Orang-orang Bugis datang ke Lombok dari Sumbawa dan mengajarkan Islam di sana. Hingga kini, beberapa kata di suku-suku Lombok banyak kesamaannya dengan bahasa Bugis.

Kesimpulan

Terdapat empat teori jalur masuknya Islam ke Indonesia, yakni: Teori Gujarat, Teori Arab, Teori Persia dan Teori China.

Teori Gujarat. Teori ini menyatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia melalui Gujarat, India. Teori ini dikemukakan oleh Pijnapel dan Snouk Hurgronje. Teori ini didasarkan pada penemuan batu nisan raja Malik al-Saleh dan batu nisan di makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, adalah berasal dari Gujarat, India.

Teori Arab. Teori ini dikemukakan oleh Buya Hamka dan beberapa tokoh lain. Menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia berasal dari Arab langsung ke Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada berita dari Tiongkok yang menyatakan bahwa sebelum abad 10 M telah ada penduduk muslim di Sumatera.

Teori Persia. Teori ini menyatakan bahwa Islam di Indonesia datang dari Persia (sekarang kawasan Iran-Irak). Hal ini didasarkan pada adanya asimilasi ajaran sufi yang dipengaruhi oleh Persia, dan asimilasi budaya yang banyak diadaptasi dari tradisi keagamaan yang dilakukan di Persia.

Teori China. Teori ini menyatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau China. Orang China telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis China atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di China pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto al-Qurtuby dalam bukunya Arus China lslam Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-Zhao, Quanzhou, dan pesisir China bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori China didasarkan pada sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat).

Kerajaan-kerajaan Islam awal di Indonesia antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Kerajan Demak, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, Kerajaan Ternate dan Tidore, Kerjaan Gowa dan Tallo.

Video Terkait