Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Apa Itu Riya’? Pengertian, Dampak, dan Hikmah Kisahnya

Daftar Isi [Tampilkan]

Dalam pengabdian kepada Allah, seorang mukmin harus mampu mengkondisikan seolah-olah pandangan atau perhatian orang itu tidak ada, yang ada semata-mata adalah pandangan Allah, seorang yang benar-benar mempunyai kesungguhan dalam beramal pastilah ia merasakan puas dengan amalannya itu, dan kebahagiaannya bukan karena amalannya dihargai ataupun dilihat orang, apalagi kalua dipuji.

Al-Ghozali menyatakan dengan ungkapan jelas “Barang siapa merasa senang orang melihat amalnya, maka dia itu adalah orang yang riya’. Dan barang siapa merasa senang orang melihat tingkah lakunya, maka di aitu adalah seorang yang pendusta.”

Riya’ adalah tingkah laku batin yang harus dipahami dan diwaspadai setiap mukmin. Perilaku riya’ yang dibiarkan begitu saja pada diri seseorang mukmin, maka akan berakibat ditolaknya amal perbuatan di hadapan Allah.

Bahkan kebiasaan riya’, akan berdampak pada munculnya perilaku syirik kecil, karena sesungguhnya riya’, sudah dikategorikan sebagai syirik kecil.

Agar semua amal dan pengabdian kita kepada Allah tidak terkontaminasi dengan perbuatan riya’, maka setiap mukmin perlu memahami segala sesuatu yang terkait dengan riya’ secara benar.

Pengertian Riya’

Riya’ berasal dari Bahasa Arab Ri’aun atau Riya’ ( الرِّيَاءُ – رِئَاءٌ ) yang artinya memperlihatkan. Dan kata kerjanya adalah (Fi’il Mudhori’) يُرِى - (Fi’il Madhi) أَرَى (memperlihatkan) dan Fi’il Amarnya أَرِ (perlihatkanlah). Kata-kata ini diulang berpuluh-puluh kali dalam Al-Quran. Seperti firman Allah :

﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ﴾

264.  Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir. (QS. Al Baqarah : 264)

Diriwayatkan dalam salah satu hadits bahwa Rasulullah bersabda yang artinya :

“Sesungguhnya yang paling kutakuti atas kamu adalah syirik kecil, sahabat bertanya, apa syirik kecil itu ya Rasulullah? Beliau menjawab itulah riya. Dihari kiamat nanti Allah akan berkata kepada mereka : “Pergilah kamu kepada orang-orang yang menyebabkan kamu beramal ingin dipuji. Mintalah balasan padanya”. (H.R. Ahmad no. 22528)

Adapun menurut istilah pengertian Riya’ adalah melakukan sesuatu karena ingin dilihat atau ingin dipuji orang lain. 

Apabila seorang melakukan sesuatu hanya karena ingin dipuji orang lain, maka berarti ia telah melakukan syirik kecil. Perbuatan riya inilah yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah akan terjadi pada umatnya.

Dalam sebuah kesimpulan hadits yang diriwayatkan Iman Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah menggambarkan bahwa: Di akhirat nanti ada beberapa orang yang dicap oleh Allah sebagai pendusta. Ada yang mengaku berjuang di jalan Allah hingga mati syahid, padahal ia berperang hanya ingin dikatakan orang sebagai seorang pemberani. Ada yang mengaku mempelajari ilmu pengetahuan, mengajarkannya karena Allah, padahal dia hanya ingin dikenal sebagai orang 'alim dan qori'. Ada yang mengaku sebagai dermawan dan telah mendermakan hartanya untuk mencari rida Allah, padahal dia hanya ingin disebut dermawan. Amalan semua orang itu ditolak Allah dan mereka dimasukkan ke dalam neraka.

Semua amal dan pengabdian yang dilakukan seseorang akan sia-sia apabila terbersit perasaan ingin disanjung orang, ingin dianggap sebagai orang yang paling aktif, apalagi bila ingin terkenal di masyarakat. 

Demikian juga bila kita merasa senang kalau "keistimewaan" kita itu diketahui oleh orang lain. Ini pertanda pengabdian kita pada Allah belum sungguh-sungguh. Dalam kaitannya dengan hal ini Imam Ghazali mengatakan : "keinginan agar keistimewaanmu diketahui orang adalah bukti tidak adanya kejujuran dalam kehambaanmu."

Rasulullah pernah berwasiat kepada Abu Dzar, "Hai Abu Dzar perbaruilah kapalmu, karena lautan itu sangat dalam, bawalah perbekalan secara sempurna, karena perjalanan amat jauh sekali. Kurangilah bebanmu, karena tanjakan di depan bagaikan gunung, dan ihlaskan amalmu karena zat yang menilai baik atau buruk itu Maha Melihat.”

Seseorang ahli hikmah yang bernama Muhammad bin Aslam ketika ditanya kepadanya, bagaimana ia dapat keluar dari sifat riya', maka iapun berkata: mengapa aku harus riya' pada manusia, ada urusan apa aku dengan mereka, padahal aku dulu berada ditulang sum-sum bapakku seorang diri, kemudian jadilah aku di dalam perut ibuku seorang diri, kemudian aku lahir ke dunia seorang diri; kemudian dicabut seorang diri, lalu aku masuk ke liang kuburku seorang diri dan datang padaku Malaikat Mungkar dan Nakir lalu bertanya keduanya padaku seorang diri, dan jika aku berada pada kenistaan niscaya jadilah aku seorang diri. kemudian setelah itu aku berhenti di hadapan Allah seorang diri, kemudian menyerah amalku dan dosaku di dalam timbanganku seorang diri pula; maka jika ia menyuruhku ke surga, menyuruhku seorang diri; demikian juga bila ia menyuruhku ke neraka maka menyuruhku ke neraka seorang diri, maka ada urusan apa aku dengan manusia. Bila kita menyadari bahwa di akhirat kita akan sendiri dan meyakini bahwa setiap amal pasti dilihat Allah, apakah sikap riya itu bukannya suatu kebohongan kebodohan yang nyata.

Kita memang harus bersungguh-sungguh mewaspadai dan mengatasi sikap riya yang meracuni hati. Salah satu cara yang ampuh adalah dengan do'a. Rasulullah pernah mengajarkan kepada kita

اَللّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفُسُوْقِ وَالشِّقَاقِ وَالسُّمعَةِ وَالرِّيَاءِ

Artinya : Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kekafiran, perbuatan fasik, perpecahan, sifat sum'ah ( memperdengarkan amalan kepada orang lain) dan sifat riya'

Meluruskan Pamrih

Tidak seorangpun dari manusia yang berhak menganggap dirinya bebas dari rasa pamrih. Menurut para ahli jiwa mempunyai cara yang cukup handal untuk mengorek isi hati orang sehingga diketahui apakah orang itu mempunyai rasa pamrih dalam berbagai tindakannya atau tidak. 

Sebab seringkali sesungguhnya keinginan untuk dilihat atau didengar orang itulah yang menjadi pendorong kita untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dengan kata lain, kita sebenarnya belum tentu bertindak demi nilai lain yang ada di luar tindakan kita sendiri. Karena itulah kepamrihan menjadi lawan keikhlasan.

Jika pamrih kita ialah keinginan untuk “dilihat” orang, dalam istilah keagamaannya ialah riya’. Dan jika untuk "didengar" orang, misalnya agar nama menjadi terkenal, dalam istilahnya adalah sum’ah. Baik riya’ atau sum’ah kedua-duanya adalah sama yaitu dari jenis kemunafikan. 

Karena keduanya mengandung semangat bahwa kita berbuat tidak untuk tujuan sesungguhnya seperti kita katakan atau kesankan pada orang lain, melainkan untuk tujuan lain yang kita sembunyikan, yang nilai tujuan itu tidaklah terlalu mulia, jadi kita tidak tulus dalam amal perbuatan yang kita lakukan.

Oleh karena itu dalam Al-Qur'an diisyaratkan bahwa; keinginan seseorang untuk mendapat pujian orang lain atas sesuatu yang sebenarnya tidak dia kerjakan adalah suatu bentuk sikap menolak kebenaran. 

Sedangkan sikap menolak kebenaran, merupakan bagian dari kekufuran. Bahkan karena pamrih itu mengandung arti mengalihkan tujuan yang sebenaranya sebuah perbuatan kepada tujuan yang lain, atau membagi tujuan yang semestinya secara tulus hanya untuk rida Allah dengan tujuan selain dari pada-Nya, maka pamrih juga mengandung unsur syirik.

﴿لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ﴾

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. (Q.S. ali 'Imran/3:188)

Karena itu dalam Rasulullah berpesan dalam sebuah Hadis yang terkenal; "sesungguhnya yang paling aku kuatirkan terjadi padamu ialah syirik kecil, yaitu pamrih." Hadis ini seolah-olah Rasulullah hendak menegasakan bahwa, mungkin kita tidak lagi menyembah berhala, karena sudah jelas kepalsuannya yang mudah dikontrol. 

Tapi yang sulit ialah bagaimana berteguh hati dalam tujuan perbuatan kita hanya kepada Allah demi menggapai rida-Nya. Sebab semua orang merasakan betapa mudahnya dan tanpa terasa menyelinap ke dalam lubuk hati berkeinginan untuk dilihat, didengar, dan dipuji orang lain.

Soal seseorang mendapat pujian dari orang lain, asalkan dengan cara yang wajar dan beralasan, tentulah masih dibenarkan. Ini dijelaskan dalam firman :

"Dan Katakan, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu Rasul-Nya dan orang-orang Mu'min ,... " (Q.S. At-Taubah/9:105). 

Dan sesuatu akan "dilihat" itu berdasarkan kerja atau prestasi, yang memang akan menjadi kualitas setiap orang. "Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang mereka usahakannya," (Q.S. al-Najm/53: 39). 

Tetapi yang menjadi persoalan jika kita kehilangan kesejatian dan ketulusan dalam amal perbuatan kita, menyelinap dalam hati kita berkeinginan mendapat pujian orang lain.

Keadaan demikian kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari amal-perbuatan kita. Maka untuk menjadi tulus dan sejati itu kita harus berjuang (mujahadah) melawan kecenderungan tak benar dari kita sendiri. Sebanding dengan kesungguhan itulah kita ingat kepada Allah untuk mendapatkan pahala.

Riya Merusak Amal Perbuatan

Riya adalah tak ubahnya seperti penyakit ganas dapat menghanguskan apa saja yang dihinggapi. Riya' menjadikan semua amal kebaikan menjadi ringan dan kosong. 

Berdasarkan pendapat jumhur ulama sesungguhnya riya membatalkan amal perbuatan. Barang siapa yang riya' di dalam salat, puasa, riya, di dalam berdoa dan riya, di dalam melakukan amal kebajikan, maka batal amal perbuatannya. 

Di samping menyebabkan batalnya amal perbuatan, riya’ juga termasuk perbuatan dosa besar. Bahkan Al-Quran al-Karim menganggap dosa ini sudah termasuk ke dalam batasan kufur, firman Allah.

﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ﴾

264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Baqarah/2: 264)

Janganlah seseorang membatalkan amal perbuatan yang sudah dikerjakan, dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima. Jika kita ingin memberikan jasa, bantuan, maupun shadaqah kepada seseorang maka janganlah kita menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerimanya. 

Karena, jika kita melakukannya maka berarti amal perbuatan tidak mempunyai nilai pahala sama sekali. Kemudian Al-Quran al-Karim mengatakan, seperti orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah karena riya' kepada manusia, sehingga dengan begitu amal perbuatannya menjadi batal. Di samping amal perbuatannya batal Al-Qur'an alKarim juga mengatakan, "Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." tingkatan dosa dari ibadah yang terdapat unsur riya' di dalamnya adalah sama dengan kekafiran.

Riya Merusak Keimanan

Dalam surat Al-Ma'un, diungkapkan "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna." 

Orang yang tidak mempunyai iman yang sesungguhnya itu terbagi kepada empat kelompok:

  1. Orang-orang yang mampu membantu orang-orang fakir dan miskin namun mereka tidak melakukannya. Mereka itu digolongkan orang yang mendustakan Agama.
  2. Orang-orang yang mengerjakan salat namun mereka tidak menaruh perhatian kepada shalatnya. Al-Qur'an al-karim berkata, orang yang mengerjakan salat dengan tergesa-gesa, sehingga ruku dan sujudnya tidak sempurna, maka salatnya salah, atau mengerjakan salat pada akhir waktu, dan tidak mementingkan salat, maka Mereka itu digolongkan orang yang mendustakan Agama
  3. Orang-orang yang riya, yaitu orang-orang berbuat riya di dalam amal perbuatan mereka. Mereka itu digolongkan orang yang mendustakan Agama.
  4. Orang-orang yang diberi kemampuan Allah untuk membantu orang lain, mampu memberikan pinjaman kepada tetangganya dan orang lain, namun mereka tidak melakukannya. Orang-orang yang mampu meminjamkan pakaiannya kepada tetangganya namun tidak melakukannya. Orang-orang yang mampu memberi pinjaman sesuatu yang dibutuhkan kepada tetangga dan sahabat-sahabatnya namun tidak melakukannya. Al-Qur'an al-Karim menyebut Mereka itu digolongkan orang yang mendustakan Agama.

Barometer seorang orang muslim menjadi muslim bukan dengan perkataan, atau slogannya, namun seorang muslim akan menjadi muslim adalah dengan menunjukkan perbuatannya. 

Jika anda mampu menunaikan kebutuhan kaum muslim namun anda tidak melakukannya, maka surat Al-Ma'un di atas mengatakan kepada anda dan kepada orang yang seperti anda, bahwa anda adalah termasuk para pendusta Agama dan pantaskah orang seperti anda meraih surga.

Apabila seseorang pergi ke masjid dan mengerjakan salat di shaf pertama dengan tujuan supaya orang-orang mengatakan kepadanya "Betapa Anda rajin beribadah." Dengan begitu pada hakikatnya yang menjadi kiblatnya adalah manusia, bukan Baitullah. Dia salat untuk manusia, bukan untuk Allah. 

Terkadang, seluruh amalnya semata karena manusia, dan sama sekali tidak ada sedikitpun nama Allah di dalam benaknya. Maka yang demikian itu adalah Riya’. Atau terkadang amal perbuatannya karena Allah dan juga karena manusia, maka ini adalah syirik yang harus diwaspadai oleh setiap Mu'min.

Riya' Bagian dari Syirik

Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa; orang yang riya, dipanggil dengan seruan "Wahai orang musyrik". Karena salat yang didirikannya, puasa yang dikerjakannya, semua itu tidak dilakukannya semata untuk Allah melainkan juga untuk manusia. 

Riya, itu pada hakikatnya adalah syirik. Apa yang dikatakan oleh para penyembah berhala. Bukankah mereka menyembah Allah dan juga menyembah berhala-berhala mereka. Mereka mengatakan, "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di hadapan Allah" (Q.S. Yunus/10: 18). 

Adapun jika di dalam hatinya tidak ada nama Allah sama sekali, sungguh itu suatu musibah yang besar. Al-Qur'an al-Karim menyebut orang yang seperti ini sebagai orang kafir.

Hal yang perlu diperhatikan dan diwaspadai adalah bahwa riya' itu samar dan tersembunyi sehingga walau seseorang telah dirasuki penyakit riya' namun dirinya tidak terasa.

Sebagai contoh, mungkin saja seorang manusia menunaikan ibadah sepanjang umurnya dalam keadaan riya' namun dia tidak menyadarinya karena yang ia rasakan hanya perasaan bahwa adalah sudah menjadi kodrat manusia bila ada keinginan mendapat pengakuan dan gelar Haji dan dipanggil Haji.

Oleh karena itu di dalam beberapa Riwayat riya diumpamakan seperti seekor semut yang hitam yang berjalan di atas batu yang hitam di malam yang gelap gulita. Nah, riya sedemikian samanya sebatas ini.

Salah satu cara yang digunakan oleh syaitan untuk memperdaya manusia beriman adalah riya. Terkadang syaitan mendatangi manusia melalui jalan maksiat, seperti menggunjing, memfitnah, ghibah, namimah, dan berdusta, namun terkadang juga syaitan mendatangi manusia melalui ibadah, yaitu dengan cara menumbuhkan rasa ujub di dalam hati seorang hamba, sehingga dengan begitu syetan menuntunnya ke jalan neraka.

Imam Ja'far Shadiq berkata, "Dua orang laki-laki masuk ke dalam masjid, yang satu seorang ahli ibadah sedangkan yang satunya lagi seorang yang fasik. Kemudian keduanya keluar dari masjid. Yang fasik menjadi orang yang lurus, sementara yang ahli ibadah menjadi orang yang fasik. Itu dikarenakan orang yang ahli ibadah itu masuk ke masjid dengan perasaan bangga akan ibadahnya. Sedangkan orang yang fasik masuk ke dalam masjid dengan perasaan menyesal atas kefasikannya dan dia memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukannya. Seperti inilah tipu muslihat syetan, yang manusia melalui cara agama. 

Syetan sendiri telah berkata kepada Allah;

﴿قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ﴾

﴿ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ ﴾

16. Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,

17. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (Q.S. al-A'raf/7: 16-17).

Setan berkata, "Ya Allah, sekarang saya telah menjadi yang termasuk orang-orang yang sesat, maka oleh karena itu saya akan mendatangi manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebahagiaan. 

Saya akan jadikan akhirat dalam pandangan mereka sebagai sesuatu yang semu. Saya akan datangi mereka melalui jalan dunia dan menyibukkan mereka dengannya. Saya akan datangi mereka melalui jalan dosa, dan kemudian menjerumuskan mereka ke dalam neraka Jahanam dengan perantaraan dosa; sebagaimana juga saya akan mendatangi mereka melalui jalan ibadah, lalu saya jadikan mereka termasuk penghuni neraka Jahanam dengan perantaraan riya'.

Menjadikan manusia riya' merupakan jalan yang sangat disukai oleh syetan. Oleh karena itu, kita semua harus waspada terhadap riya'. Jangan sampai kita termasuk orang yang bermuka dua. 

Syetan lebih suka menjerumuskan manusia ke dalam neraka Jahanam melalui jalan ibadah. Syetan lebih suka menjerumuskan manusia ke dalam neraka Jahanam melalui jalan salat dibandingkan menjerumuskan melalui jalan tidak salat.

Jangan anda jadikan manusia sebagai tujuan anda, karena yang demikian itu adalah dosa besar. Namun jika anda menjadikan manusia sebagai tujuan anda maka janganlah anda berbelit-belit. Karena dosa yang anda tanggung akan lebih besar manakala anda menjadikan manusia sebagai tujuan melalui jalan pura-pura taat dalam beragama. 

Inilah yang dikatakan oleh Al-Qur'an al-Karim; “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, , (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna." 

Kecelakaanlah bagi kaum muslim yang melalaikan salatnya. Kecelakaanlah bagi orang-orang yang riya. Kebanyakan manusia tidak terbebas dari penyakit riya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim dirinya bersih dari riya. ( Roli Abdul Rahman, Menjaga Aqidah dan Akhlak, ha. 105, 2007)

Hikmah Kisah Riya'

Bahlul, hidup pada masa Harun ar-Rasyid. Dia seorang manusia yang aneh. Dia pernah memangku jabatan hakim agung, namun kemudian pura-pura gila untuk lari dari kewajiban menetapkan putusan. Dia selalu menyuruh manusia kepada yang makruf dan mencegah manusia dari munkar dengan amal perbuatannya.

Pada suatu hari Bahlul melihat seorang laki-laki sedang membangun masjid, lalu dia menuliskan tulisan "Masjid Bahlul" di atas masjid itu. Ketika pemilik masjid melihat apa yang dilakukannya pemilik masjid itu berkata, "Kenapa engkau melakukan ini," Bahlul menjawab, "Jika kamu membangun masjid karena Allah, maka tidak ada bedanya apakah masjid itu ditulis atas namamu atau nama yang lain." Pemilik masjid itu menjawab, "Aku telah bersusah payah membangun masjid ini, lalu kemudian masjid ini ditulis atas nama selainku!" kemudian pemilik masjid itu menghapus nama Bahlul dan menggantikannya dengan namanya. Melihat itu Bahlul berkata, "Ini menunjukkan bahwa dia membangun masjid bukan karena Allah."

Amirul Mu'minin Ali bin Ali Thalib sering pada malam hari pergi ke rumah-rumah orang miskin untuk memberikan sedekah kepada mereka, dengan tidak ada seorang pun yang tahu akan hal itu kecuali setelah kepergiannya dari alam dunia. 

Pada malam kedua puluh dari bulan Ramadhan tatkala Ali sedang terbaring di ranjang sebagai akibat sabetan pedang, barulah mereka mengetahui siapa yang selama ini membawakan roti dan kurma kepada orang-orang miskin. ( Roli Abdul Rahman, Menjaga Aqidah dan Akhlak, ha. 102-107, 2007)

Baca Juga : Pengertian Riya’ : Dalil, Bentuk, Akibat, Cara Menghindari dan Contoh Perbuatannya