Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan

Daftar Isi [Tampilkan]

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN 




A. Keadilan Menurut Konsepsi Alkitab


Kata keadilan dalam Alkitab berasal dari istilah “tsedeq” atau “tsedeqah” yang berarti “lurus” atau “langsung” [1]. Kedua kata ini mengacu kepada standar etika dan moral sehingga istilah keadilan dalam Alkitab selalu berkaitan dengan laku dan moral para hakim dalam menjalankan tugasnya (bandingkan Kejadian 15:6 ;18:19 dan 30:33). Umat-Nya harus jujur, tulus dan benar di dalamkehidupan sehari-hari tanpa memihak dan menipu dalam bidang ekonomi (bandingkan Imamat 19:36). Ada tiga unsur yang selalu menonjol di dalam keadilan yaitu etika, peradilan, dan teokratis yang dimana unsur- unsur itu merupakan landasan kehidupan manusia. Apabila kehidupan individu atau kelompok berlandaskan ketiga unsur di atas maka martabat dan wibawa manusia itu akan semakin tinggi dan terhormat (bandingkan Yesaya 1:21). Tugas utama raja atau hakim adalah melaksanakan keadilan dalam persekutuan umat-Nya (bandingkan Keluaran 23:7−8; Amos 6:12; 1 Tawarikh 18:14). Di dalam kepemimpinan mereka di pengadilan, mereka harus menonjolkan unsur teokratis, yaitu menghormati Allah. Hidup dan melayani berasaskan hormat kepada Allah ditandai dengan sikap yang solider terhadap orang miskin, tertindas, dan terbelakang serta berupaya menolong mereka agar dapat keluar dari masalah kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan (bandingkan Keluaran 23:7; Yeremia 5:23). 

Sehingga keadilan selalu dikaitkan dengan keadilan Allah dan keadilan Allah itu selalu dikaitkan janji Allah untuk memelihara dan menyelamatkan umat-Nya. 

Apakah hubungan keadilan dengan tanggung jawab terhadap sesama? Dalam Sabat dapat dilihat hubungan penciptaan Allah dengan hasil budaya manusia serta tindakan pembebasan Allah dengan upaya keadilan manusia. Dalam Sabat, manusia akan memerhatikan sesamanya yaitu orang kaya akan membantu yang miskin. Namun sikap yang lebih adil dapat diwujudkan dengan memberi kesempatan kepada orang miskin untuk dapat bekerja dengan imbalan yang layak. Kaitan keadilan dengan tanggung jawab terhadap sesama dapat diwujudkan dengan memberlakukan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, hamba laki-laki dan perempuan termasuk orang asing dan segala jenis ternak (bandingkan Keluaran 20:10). 

Perwujudan dari keadilan Allah berarti baik itu tindakan penyelamatan yang diberi Allah bagi umat-Nya maupun tindakan penghukuman terhadap musuh- musuh umat-Nya. Tetapi sebaliknya, keadilan dapat berarti penghukuman terhadap umat Tuhan bila ternyata mereka tidak setia atau mengingkar ketaatannya kepada hukum-hukum Allah, sebagai tanda dan konsekuensi keterkaitannya dengan janji Allah. Di dalam Alkitab kita mempelajari bahwa unsur kasih merupakan unsur yang sangat dominan dan menentukan di dalam perumusan dan pelaksanaan keadilan itu, seperti yang dikatakan Paul Tillich “Kasih tidak berbuat lebih dari apa yang dituntut keadilan, namun kasih itu menjadi keadilan, kasih itu menjadi prinsip yang mutlak dari keadilan”. 

Prinsip-prinsip keadilan itu adalah : 

  • Prinsip kesejahteraan, 
  • Prinsip kecukupan, 
  • Prinsip kesamaan, 
  • Prinsip personalitas, 
  • Prinsip persaudaraan. 

Dalam Perjanjian Baru (PB) terlihat jelas bahwa pengabdian yang dilakukan kepada Tuhan Yesus meliputi pengabdian kepada orang-orang yang berkekurangan, sakit, tertindas, terkurung, dan orang asing (Matius 25:31-46). Keadilan harus ditegakkan dengan nyata melalui hubungan antara sesama manusia dengan masyarakat lainnya. Keadilan juga berlaku dalam tatanan alam, masyarakat, dan korelasi antara manusia dengan sesama manusia. Dalam keadilan terwujud harmoni, keseimbangan, dan keselarasan seluruh unsur-unsur alam. 


B. Perdamaian Menurut Konsepsi Alkitab


Di dalam Alkitab istilah “perdamaian” berakar dari kata “syalom” (Ibrani) dan “eirene” (Yunani) yang artinya damai[2]. Damai biasanya dikaitkan dengan perasaan senang akibat memeroleh suatu benda yang diperlukan atau harta, kebahagiaan atau kesehatan (Lukas 11:12; Mazmur 73:3; 38:4). Setiap individu atau kelompok akan merasakan kedamaian apabila kehidupan dalam arti kesejahteraan dan keamanan serta ketenteraman jiwa terjamin. Sebaliknya setiap individu tidak akan merasakan kedamaian bila ia hidup di dalam suasana perang dan kekacauan (bandingkan 2 Raja 5:26; Roma 12:18; Yakobus 3:18; Pengkhotbah 3:8; Lukas 14:32; Kisah Rasul 12:20; dan 1 Korintus 14:33). Syalom atau eirene yang berarti selamat dan sempurna selalu diharapkan oleh setiap individu. Pengharapan ini selalu terdengar dengan ucapan “salam” yang hampir pada setiap pertemuan dan perpisahan diucapkan seseorang kepada yang lain. Karena itu sampai akhir hayat manusia, setiap individu selalu mengharapkan “selamat” di dalam hidupnya.
Keyakinan dan perasaan aman serta tanggung jawab setiap individu atau kelompok terhadap Allah merupakan suatu sarana yang mempererat hubungan mereka dengan Allah. Persekutuan di dalam masyarakat akan menjadi efektif bila mereka mampu hidup bersama di dalam kedamaian dan kesejahteraan dan dalam keamanan yang secara menyeluruh terjamin. Syalom akan muncul bila upaya manusia yang menonjolkan kekuatan, kekuasaan dan kekerasan dalam berbagai aspek dan praktek kehidupan dapat diminimisasi atau dihilangkan. Sebap perang yang mengandalkan kekuatan dan kekerasan bukanlah suatu tujuan atau usaha untuk mencapai tujuan hidup manusia. Tetapi sebaliknya, perdamaian dan keadilan yang dilandasi dengan kasih terhadap sesama merupakan cita-cita seluruh makluk di atas bumi. Wujud perang di dalam Alkitab bukan seperti yang dipahami C.Westermann (seperti perang di abad modern saat ini) tetapi cenderung dipahami sebagai perselisihan, perdebatan, dan pertengkaran. 

Dari kitab Ulangan sampai 1 Samuel, dijelaskan bahwa hanya Allah saja yang berperang berjuang atau memimpin perkelahian bukan bangsa Israel (Ulangan 1;30; Samuel 18 :17; Yosua 10:14), dengan memahami nats-nats ini dengan baik akan diperoleh kesan bahwa tidak ada alasan bangsa Israel untuk melakukan perang disepanjang masa. Sebaliknya, pada saaat kedatangan Mesias semua sarana dan prasarana perang harus dialihfungsikan menjadi alat pembangunan bagi semua bangsa di dunia ini. 


C. Keutuhan Ciptaan Menurut Konsepsi Alkitab 

Sesuai dengan kesaksian Alkitab, keutuhan ciptaan dipahami sebagai suatu bentuk ketergantungan manusia dengan lingkungannya. Seluruh ciptaan merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain. Manusia ditempatkan Tuhan sebagai mahkota ciptaan-Nya karena manusia lebih tinggi statusnya dari ciptaan yang lain dan mempunyai tanggung jawab khusus terhadap ciptaan yang lain[3]. Tanggung jawab manusia ditandai dengan mengasihi seluruh ciptaan yang terdapat di sekitarnya. Tanggung jawab tersebut dilakukan manusia bukan saja karena manusia diciptakan sebagai mandataris Allah yang bertanggung jawab terhadap seluruh ciptaan tetapi tanggung jawab ini dilakukan karena manusia pada dasarnya hidup dalam ketergantungan dengan ciptaan lainnya. Itu berarti bahwa manusia hidup dalam ketergantungan dengan makhluk dan ciptaan lainnya. Karena itu hubungan antara manusia dengan ciptaan lainnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Dalam Alkitab banyak ditemui aspek kesaksian penciptaan yaitu: 

  • Allah adalah pencipta dan pemilik mutlak (Kejadian 1:1; Mazmur 24:1; Yesaya 48:12-13), 
  • Allah pemberi dan pemelihara semua hidup di dunia ini (Mazmur 104:29b−30), 
  • Allah menyediakan sumber yang berlimpah dan aneka untuk dinikmati manusia dan ciptaan lain (Mazmur 104:10−18 ; 2 :27-28), 
  • Roh Allah itu aktif terlibat, tidak hanya dikegiatan awal penciptaan tetapi juga dalam mereproduksi kehidupan dalam kesinambungan pemeliharaan dan pembaharuan alam semesta (Mazmur104:30), 
  • Allah menciptakan beraneka tumbuhan dan spesies binatang yang berjuta-juta banyaknya (Mazmur 104:24), 
  • Allah menciptakan manusia sesuai gambar dan rupa Allah (Imago Dei), laki-laki dan perempuan sama dihadapan Allah (Kejadian 1:27), 
  • Allah menciptakan manusia agar menjadi mitra dan teman sekerja Allah dalam memelihara ciptaan-Nya (Keluaran 1:28; Mazmur 8:6), 
  • Membentuk tatanan ciptaan supaya manusia hidup beraturan dalam waktu, iklim dan ruang yang dapat dihuni (Kejadian1:1−31; Yesaya 45:18), 
  • Allah menciptakan dunia dari yang tidak ada menjadi ada atas kehendak-Nya sendiri (Wahyu 4:11), 
  • Keharmonisan dan berekosistem dari seluruh ciptaan-Nya, dalam kasih dan anugerah yang telah diatur untuk bergerak bebas, sejahtera, bahagia, dan aman (Mazmur 104:10−23). 

D. Hubungan Manusia Dengan Ciptaan Lainnya

Manusia dan ciptaan lainnya saling mendukung dan melengkapi. Hal ini dipahami sebagai suatu kebersamaan yang menuntut toleransi hidup yang memberi konstribusi positif satu sama lain. Konstribusi manusia terhadap binatang dan tumbuhan dapat dilihat dari tanggungjawab manusia memelihara dan melestarikan kesinambungan hidup binatang dan tumbuhan[4]. Sebab bila manusia lalai dalam tanggung jawabnya, maka berbagai binatang dan tumbuhan yang sangat dibutuhkan akan punah sehingga mengganggu proses kebutuhan manusia. Artinya, tanggung jawab manusia bukan hanya sebatas menikmati segala kebutuhan yang dibutuhkannya dari binatang dan tumbuhan melainkan melestarikan dan memeliharanya juga sebagai suatu ungkapan tanggung jawab. Dalam Kejadian 1:28, Allah mengatakan agar manusia beranak cucu dan memenuhi bumi serta menaklukan dan menguasai bumi serta segala isinya. Menguasai dan menaklukan bumi serta segala isinya bukan dalam arti menikmati dan menghancurkan melainkan memelihara dan melestarikan. Bukan hanya itu, manusia juga bertanggung jawab membangun hubungan baik antar sesama ciptaan lainnya, seperti hubungan antara binatang dan antara tumbuhan, artinya manusia mengupayakan perkembangan dan pertumbuhan setiap ciptaan agar tidak saling mengganggu satu sama lain melainkan saling mendukung dalam semua aspek dan proses kehidupan. Itulah makna sesungguhnya menguasai dan menaklukan bumi menurut konsepsi Alkitab. 


1. Hubungan Manusia dengan Binatang

Dalam kisah penciptaan Allah memberikan mandat untuk menguasai ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan segala binatang yang merayap di bumi. Mandat itu merupakan tahta yang membuktikan bahwa dalam proses penciptaan status dan harkat manusia lebih tinggi dari binatang. Manusia menguasai binatang dipahami sebagai suatu tanggung jawab memelihara dan melestarikan . Manusia menguasai berarti bahwa binatang harus tunduk kepada manusia. Jadi, hubungan manusia dengan binatang dipahami sebagai hubungan sesama ciptaan Allah yang mana keduanya dibedakan dari segi status dan harkatnya dihadapan Allah. Dalam proses penciptaan, Allah menghembuskan nafas kehidupan kedalam hidup manusia dan nafas inilah yang secara asasi membedakan manusia dengan segala ciptaan lainnya karena binatang sama sekali tidak memiliki nafas kehidupan yang dari Allah sebagaimana yang dimiliki manusia. 


2. Hubungan Manusia dengan Tumbuh-Tumbuhan

Hubungan antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan pertama-tama dapat dipahami dari penempatan manusia di Taman Eden, karena di Taman Eden manusia bekerja mengusahakan dan memelihara taman. Tugas dan pekerjaan ini dipahami sebagai tugas dan hakikat manusia. Jadi bukan sebagai syarat untuk memperoleh sesuatu hasil tertentu. Manusia bekerja mengusahakan dan memelihara taman dipahami sebagai suatu tugas pengabdian yang sekaligus menandakan bahwa manusia hidup dan bekerja. Dari konsep tersebut hubungan manusia dengan dengan tumbuh-tumbuhan diibaratkan sebagai hubungan taman dengan petugas taman. Karena itu, dalam Ulangan 20:19−20, dikatakan bahwa Allah secara tegas melarang umat-Nya menebang kayu. 

Allah hanya mengijinkan Umat-Nya memakan buah pohon kayu dan memotong pelepah dan ranting-ranting pohon yang rimbun saja (Imamat 23:40).



E. Hubungan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan

Syalom selalu berorientasi pada perdamaian masa depan yang ditandai dengan perwujudan damai, keadilan, dan penciptaan sebagai suatu kesatuan yang utuh. Perpaduan ketiga unsur ini sangat berkaitan dengan keselamatan manusia kini dan di masa depan. Hal ini sesuai dengan isi Yesaya 32:15−17 “ Sampai dicurahkan kepada kita roh dari atas; maka padang gurun akan menjadi kebun buah-buahan dan di kebun buah-buahan itu akan tetap ada kebenaran. Di mana ada kebenaran disitu akan tumbuh damai sejahtera dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya”. 

Damai sejahtera ini erat hubungannya dengan keadilan dan kebenaran alam semesta ciptaan Allah. Penebusan yang dilakukan di dalam diri Tuhan Yesus Kristus tidak saja mencakup penebusan manusia dari dosa, kematian dan maut tetapi berlaku juga untuk seluruh isi bumi dan ciptaan lainnya. 

Semua makhluk dan ciptaan lainnya akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan dimasukkan ke dalam kemerdekaan dan kemuliaan anak-anak Allah (Roma 8:21). Dengan prinsip ini manusia sebagai ciptaan baru, melalui pembebasan Yesus Kristus dari dosa dan maut harus bertanggung jawab terhadap pemeliharaan bumi di sepanjang masa. 

Ciptaan tidak dapat dipahami hanya menyangkut alam saja tetapi mencakup keseluruhan yang utuh, termasuk masyarakat dan lingkungannya, baik unsur politik maupun aneka keilmuan lainnya. Itu sebabnya dalam Yohanes 3:16 dikatakan bahwa Allah mengasihi dunia ini bukan hanya manusia saja. Jadi keutuhan ciptaan akan terjamin bila kontinuitas keadilan, perdamaian, dan pembebasan terhadap kekerasan dapat dipelihara secara konsekuen. Untuk itu perlu dicamkan apa yang diungkapkan seorang ahli filsafat biologi/matematik yang bernama C.F. Von Weizsacker yaitu: 

“Tidak ada kedamaian tanpa keadilan
Tidak ada keadilan tanpa kedamaian
Tidak ada keadilan tanpa kemerdekaan
Tidak ada kemerdekaan tanpa keadilan
Tidak ada kemerdekaan antar bangsa tanpa damai dengan alam
Tidak ada kedamaian dengan alam tanpa kedamaian antar bangsa”. 



KESIMPULAN 


Kata keadilan dalam Alkitab berasal dari istilah “tsedeq” atau “tsedeqah” yang berarti “lurus” atau “langsung” dimana hal itu mengacu kepada standar etika dan moral. Sehingga istilah keadilan dalam Alkitab selalu berkaitan dengan laku dan moral para hakim dalam menjalankan tugasnya. 

Di dalam Alkitab istilah “perdamaian” berakar dari kata “syalom” (Ibrani) dan “eirene” (Yunani) yang artinya damai. Damai biasanya dikaitkan dengan perasaan senang akibat memperoleh suatu benda yang diperlukan atau harta, kebahagiaan atau kesehatan. Setiap individu atau kelompok akan merasakan kedamaian apabila kehidupan dalam arti kesejahteraan dan keamanan serta ketenteraman jiwa terjamin. 

Keutuhan ciptaan dalam Alkitab dipahami sebagai suatu bentuk ketergantungan manusia dengan lingkungannya. Keutuhan ciptaan akan terjamin bila kontinuitas keadilan, perdamaian dan pembebasan terhadap kekerasan dapat dipelihara secara konsekuen. 



[1] Tim Dosen UHN Medan, Pokok-Pokok Pengajaran Agama Kristen, Medan:Universitas HKBP Nommensen,2004,hlm.29-30
[2] Ibid hlm.31-32
[3] Ibid hlm.25-26
[4] Ibid hlm.26-29